AI DAN ETIKA: KETIKA MESIN BISA MENJAWAB, TETAPI TIDAK BISA MERASA

Berita28 Dilihat

Oleh Dr. Muslich Taman, Lc., Guru dan Pemerhati Sosial Keagamaan, Penulis Buku: Guru Sang Arsitek Masa Depan

DetikSR.id Bogor – Di era digital yang bergerak secepat kedipan mata, kita hidup di tengah revolusi besar bernama kecerdasan buatan AI (Artificial Intelligence). Kini, hampir setiap aspek kehidupan disentuh oleh teknologi ini —dari pendidikan, bisnis, kesehatan, hingga hiburan. Cukup dengan satu perintah suara, atau tulisan, mesin pintar dapat menulis esai, mendiagnosis penyakit, merancang desain, bahkan menggubah lagu. Semua seolah menjadi mungkin. Dengan kekuatan model `Bim salabim Abrakadabra`.

Namun di balik keajaiban itu, ada pertanyaan mendasar yang patut direnungkan: apakah manusia sedang menguasai mesin, atau justru manusia dikuasainya dan diperdaya?

Kemajuan Teknologi: Antara Solusi dan Ilusi.
AI diciptakan untuk membantu manusia mencari solusi yang cepat dan efisien. Dalam dunia pendidikan, misalnya, guru sangat terbantu menyiapkan perangkat pembelajaran dengan lebih cepat dan lebih mudah, siswa kini dapat memanfaatkan platform berbasis AI untuk memahami pelajaran dengan cara yang lebih interaktif. Di bidang kesehatan, AI mampu menganalisis data medis dalam hitungan detik dan membantu dokter mengambil keputusan yang lebih akurat.

Namun, di sisi lain, AI juga menciptakan ilusi kemandirian palsu. Ia memberi kesan bahwa manusia bisa mendapatkan semua jawaban tanpa perlu berjuang. Ketika semua hal dapat ditanyakan dan dijawab dalam hitungan detik, nilai dari proses berpikir, berusaha, dan mengalami — pelan tapi pasti — mulai tergerus. Begitu juga semangat kerja keras dan jiwa tangguh, bisa punah dan terkubur dalam-dalam.

Ketika Mesin Bisa Menjawab, Tetapi Tidak Bisa Merasa.

Perbedaan paling fundamental antara manusia dan mesin terletak pada rasa. AI bisa mengolah data dengan kecepatan luar biasa, menjawab pertanyaan dengan akurasi canggih, tetapi ia tidak memahami emosi, empati, atau nilai moral yang melatarbelakangi setiap persoalan dan keputusan manusia.

Ketika seorang guru menegur muridnya dengan lembut, ada nilai kasih sayang di sana. Ketika seorang sahabat menepuk pundak sahabatnya, ada rasa bangga pada sahabatnya. Ketika seorang perawat menggenggam tangan pasiennya, ada empati yang tak bisa direplikasi oleh algoritma. AI bisa meniru perilaku manusia, tetapi tidak bisa merasa dan mengalami kemanusiaan itu sendiri.

Inilah yang menjadi titik kritis: AI bisa menjawab, tetapi tidak bisa merasa. Ia tidak tahu arti kegigihan, tidak paham hakikat cinta, tidak mengerti makna air mata, dan tidak bisa memahami indahnya sebuah kegagalan yang membentuk karakter.

Generasi Instan di Tengah Gelombang AI.

Kemudahan yang ditawarkan AI, khususnya bagi generasi muda, bagai dua sisi mata pisau tajam. Di satu sisi, teknologi ini membuka peluang luar biasa untuk belajar, berinovasi, dan berkarya. Anak muda bisa membuat aplikasi, karya seni, atau riset ilmiah dengan bantuan AI yang mempercepat proses kreatif mereka.

Namun di sisi lain, muncul bahaya yang tak kalah besar: lahirnya generasi instan —generasi yang terbiasa mendapatkan hasil tanpa proses. Mereka mungkin pandai mengoperasikan teknologi, tetapi tumpul dalam berpikir kritis, miskin rasa empati, dan lemah dalam daya juang.

Jika dibiarkan tanpa upaya pencerahan, generasi ini bisa tumbuh menjadi kelompok yang pandai “menyalin,” tetapi miskin dalam “mencipta.” Mereka tahu apa yang harus dijawab, tetapi tidak tahu bagaimana bertanya dengan benar.

Menjaga Keseimbangan: Manusia Tetap di Pusat.

Teknologi, secerdas apa pun, sejatinya hanyalah alat. Manusialah yang menentukan arah dan nilai penggunaannya. Agar AI menjadi sarana kemajuan, bukan jerat kemalasan dan candu plagiarisme, generasi muda perlu membangun etika digital dan kesadaran kemanusiaan. Wajib banyak membaca dan tak henti belajar.

Beberapa hal penting yang perlu dimiliki generasi yang hidup di era AI seperti saat ini, antara lain:

1. Berpikir Kritis dan Reflektif. Jangan langsung percaya pada setiap jawaban AI. Tanyakan kembali: “Apakah ini benar? Apakah ini adil? Apakah ini manusiawi?”

2. Menjaga Nilai Kerja Keras. Gunakan AI sebagai pendukung, bukan pengganti. Biarkan proses berpikir, mencoba, dan gagal menjadi bagian dari pembelajaran sejati.

3. Menumbuhkan Empati. Di dunia yang serba digital, kemampuan untuk memahami dan merasakan manusia lain justru menjadi nilai yang paling langka dan berharga. Perbanyak menyapa dan berinteraksi dengan manusia.

4. Beretika dalam Berkarya. Jangan menggunakan AI untuk menipu, menjiplak, atau menghindari tanggung jawab intelektual. Jadikan AI mitra dalam berkarya, bukan jalan pintas untuk menghindari usaha.

5. Membangun Kreativitas dan Kepemimpinan. Gunakan AI untuk memperluas ide, bukan membatasi imajinasi. Pemimpin masa depan bukan yang paling cepat mengetik perintah, tetapi yang paling bijak memahami makna di baliknya.

Sebagai Penutup: Menjadi Manusia di Era Mesin.

AI adalah karya luar biasa dari kecerdasan manusia. Namun sehebat apa pun mesin diciptakan, manusia tetap tak tergantikan, karena manusia memiliki sesuatu yang tak dimiliki oleh algoritma mana pun: hati, nurani, dan perasaan. Tantangan terbesar manusia saat ini bukanlah membuat mesin semakin pintar, tetapi menjaga agar manusia tidak kehilangan kemanusiaannya, di tengah laju kemajuan teknologi. Pada akhirnya, masa depan bukan ditentukan oleh seberapa canggih AI bekerja, tetapi oleh seberapa bijak manusia menggunakannya. Wallahu a`lam bis shawab. (Dayat).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *