Oleh Yus Dharman,SH.,MM ,M.Kn
Advokat/Ketua Dewan Pengawas FAPRI (Forum Advokat & Pengacara Republik Indonesia)
DetikSR.id Jakarta, 15 agustus 2025 –
Berdasarkan Sistem Informasi Penelusuran Perkara Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, majelis hakim menyatakan Silfester Matutina terbukti bersalah melakukan tindak pidana fitnah kepada mantan Wakil Presiden Jusuf Kala. Ia kemudian divonis 1 tahun penjara, yang di bacakan pada tgl 30 Juli 2018. Putusan itu kemudian dikuatkan di tingkat banding yang dibacakan pada 29 Oktober 2018. Di tingkat kasasi, majelis hakim memperberat vonis Silfester Matutina menjadi hukuman 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan penjara. “
Secara prosedur putusan kasasi yang sudah ingkracht, oleh Mahkamah Agung/MA akan dikirimkan ke Pengadilan Negeri dimana terpidana di sidangkan pada tingkat peradilan pertama, 30 (tigapuluh) hari setelah MA menyampaikan surat putusan tersebut ke PN, Otomatis putusan disampaikan kepada Kejaksaan Negeri jakarta selatan, JPU yang menangani perkara tersebut dan terpidana.
Sesudah tiga hari menerima pemberitahuan dari Kepala Pengadilan Negeri Jakarta Selatan , Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan harus mengeluarkan surat perintah kepada JPU yang menyatakan terpidana harus di eksekusi dan menunjuk JPU yang menangani perkara sejak awal dakwaan untuk melakukan eksekusi atau jika JPU tersebut berhalangan karena satu dan lain hal sehingga tidak dapat melaksanakan eksekusi tersebut maka di bentuk tim pengganti pelaksana eksekusi,
Terpidana yang dieksekusi harus diserahkan ke Kalapas/KaRutan dengan menanda tangani Berita Acara Serah terima terpidana yang ditanda tangani oleh Jaksa Eksekutor, KALAPAS/KARUTAN dan Terpidana,
dengan demikian berpindahlah tanggung jawab dari kejaksaan ke LAPAS/Direktorat kemasyarakatan Kementrian Hukum.
Dari kasus tersebut diatas ada beberapa variabel yang mungkin terjadi, kenapa terpidana yang sudah di vonis dalam putusan yang sudah inkraacht dari tahun 2019 dapat berkeliaran dengan percaya diri nya, muncul di setiap acara Televisi serta diangkat menjadi Komisaris BUMN besar ?
Kemungkian pertama, Kejaksaan Agung tidak memerintahkan Kejaksaan Negeri untuk melaksanakan eksekusi terhadap yang bersangkutan.
Kemungkinan kedua, bisa juga sudah diperintahkan oleh Kejagung, namun Kejari jaksel mbalelo tidak melaksanakan perintah tersebut.
Kemungkinan ketiga, ada perlindungan khusus atau keberpihakan penguasa terhadap Penundaan kasus ini. Padahal sampai saat ini tidak ada alasan secara hukum maupun alasan kemanusiaan untuk menunda pelaksanaan eksekusi atas putusan Kasasi yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht) tersebut.
Menyikapi dan mencermati poin tersebut di atas penulis menyimpulkan, bahwa;
a. Hukum menjadi mati suri jika tidak dijalankan tepat waktu. Pembiaran terhadap penanganan kasus ini sama saja menutup prinsip keadilan.
b. Penundaan eksekusi ini persoalannya bukan bersifat yuridis, tapi politis.
c. Dalam penanganan kasus ini kinerja hakim perlu diaudit, terutama hakim pengawas, dan Jaksa di Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan.(*/Red/sumber)