DetikSR.id TANGERANG — Polemik hubungan industrial kembali mencuat setelah Nusantara Law Firm & Partner’s Attorney At Law resmi melayangkan Somasi I kepada PT Rajawali Parama Kontruksi/Putra Pratama Jaya Mandiri. Somasi bertanggal 8 Desember 2025 itu berisi tuntutan agar perusahaan memberikan klarifikasi serta memenuhi hak-hak ketenagakerjaan seorang karyawan bernama Nur Wiwid Adhi Laxmana.
Karyawan yang bekerja sejak 2017 hingga 2025 itu mengaku mengalami berbagai pelanggaran, mulai dari tidak adanya perjanjian kerja, ketidakteraturan pembayaran gaji, hingga dugaan pemaksaan menandatangani surat pengunduran diri.
Dugaan Pelanggaran Administratif Sejak Awal Kerja
Dalam surat somasi yang ditandatangani lima advokat—Kartino, S.E., S.H., Hairul Mu’minin, S.H., M.H., M. Andrean Saefudin, S.H., Muthia Maharani, S.H., dan Eko Kuntoro, S.H.—kuasa hukum menilai perusahaan telah melanggar ketentuan dasar hubungan kerja.
Mereka menyebut bahwa sejak awal bekerja, klien tidak pernah menerima dokumen perjanjian kerja, baik PKWT maupun PKWTT, sebagaimana diwajibkan dalam UU Ketenagakerjaan serta PP 35 Tahun 2021.
Tak hanya itu, pembayaran gaji dinilai janggal karena ditransfer ke rekening pribadi seseorang bernama Budi Wijaya, yang disebut telah meninggal dunia. Kuasa hukum menilai skema ini tidak akuntabel, rentan manipulasi, dan bertentangan dengan etika administrasi perusahaan.
Pada 2025, kondisi pengupahan semakin tidak menentu. Gaji disebut sering terlambat satu hingga dua minggu, bahkan pernah dibayarkan dua kali dalam sebulan tanpa dasar yang jelas.

Dugaan Pemaksaan Pengunduran Diri
Puncak persoalan terjadi pada 21 November 2025 ketika klien dipanggil ke bagian HRD dan diminta menandatangani surat pengunduran diri dengan tenggat paling lambat 5 Desember 2025.
Kuasa hukum menyebut tindakan tersebut bertentangan dengan Pasal 151 UU Ketenagakerjaan yang melarang PHK sepihak dan bertentangan dengan asas kebebasan kehendak sebagaimana diatur Pasal 1320 KUHPerdata.
Lebih jauh, beberapa karyawan lain disebut mengalami pola pemutusan hubungan kerja yang sama.
Kartino: “Bukan Satu Orang, Ini Sudah Sistematis”
Pimpinan Nusantara Law Firm, Kartino S.E., S.H., menyatakan bahwa kasus ini bukanlah kasus tunggal.
“Bukan hanya satu orang yang datang meminta bantuan. Ada pekerja lain yang mengalami persoalan serupa, beberapa bahkan sudah bekerja hingga delapan tahun,” ujarnya.
Kartino menjelaskan bahwa kantor hukumnya membuka layanan konsultasi dan pendampingan hukum gratis bagi pekerja kelas bawah, termasuk sopir, yang kerap tidak memiliki akses terhadap bantuan hukum.
“Kami melihat perusahaan menjalankan praktik yang tidak profesional. Mempekerjakan banyak karyawan, tetapi gaji dibayarkan melalui rekening pribadi pemilik, tanpa administrasi ketenagakerjaan yang layak. Bahkan ada laporan gaji dibayar hanya separuh,” tegasnya.
Ia juga menyoroti pentingnya dialog bipartit sebelum naik ke tingkat tripartit di Dinas Ketenagakerjaan. “Namun jika perusahaan tidak menunjukkan itikad baik, kami siap membawa kasus ini ke jalur hukum, baik pidana maupun perdata.”
Somasi dengan Tenggat 2×24 Jam
Dalam somasi tersebut, pengacara memberikan tenggat waktu 2×24 jam bagi perusahaan untuk memberikan tanggapan dan menyelesaikan kewajiban kepada klien. Bila tidak direspons, proses hukum lanjutan akan ditempuh tanpa pemberitahuan berikutnya.
Dampak Lebih Luas: Ancaman bagi Perlindungan Pekerja
Kasus ini dinilai berpotensi menjadi preseden penting bagi perlindungan ketenagakerjaan. Jika dugaan pelanggaran administrasi, pemotongan hak, dan pemaksaan resign dibiarkan, kasus serupa bisa terus terjadi dan merugikan banyak pekerja.
Kuasa hukum menegaskan bahwa penegakan hukum diperlukan agar pekerja, khususnya dari kelompok ekonomi bawah, tidak terus menjadi pihak paling dirugikan. (*/Red/gln)






