DetikSR.id TANGERANG — Sebuah kasus dugaan kekerasan fisik dan perundungan yang melibatkan oknum pemilik yayasan berinisial S di lingkungan SMK Teknologi Indonesia, Kota Tangerang, kembali menyorot perhatian publik. Insiden yang terjadi pada Jumat, 3 Oktober 2025, tersebut bermula ketika seorang siswa berinisial M datang ke sekolah untuk melakukan absensi sebelum melanjutkan kegiatan Praktik Kerja Lapangan (PKL).
Menurut kesaksian siswa dan guru, S yang diduga salah menafsirkan kehadiran para siswa PKL sebagai upaya untuk membolos secara tiba-tiba melakukan tindakan fisik berupa pukulan menggunakan sandal serta menampar wajah siswa sebanyak dua kali. Aksi tersebut sontak memicu reaksi siswa lain sebelum akhirnya dilerai guru. Seorang siswa lainnya turut menjadi korban tamparan.
Usai kejadian, M melaporkan insiden tersebut kepada orang tuanya, yang juga berprofesi sebagai jurnalis. Mendengar kesaksian dari guru dan sejumlah saksi, orang tua M pada awalnya berencana melaporkan kasus ini ke Polres Metro Tangerang Kota. Namun niat tersebut urung dilakukan setelah guru dan S meminta agar diselesaikan secara kekeluargaan.
Dalam sebuah pertemuan yang difasilitasi guru, pihak sekolah diwakili S menyampaikan permohonan maaf secara langsung. S mengeklaim bahwa tindakan tersebut dilakukan dalam kondisi emosi spontan dan ketidaktahuan bahwa M dan rekannya tengah melaksanakan PKL.
“Saya mohon maaf, Pak. Saya tidak tahu kalau M dan temannya hanya hadir untuk absensi PKL,” ujar S dalam pertemuan tersebut.
Orang tua M menerima permohonan maaf itu, namun menegaskan bahwa insiden tersebut berdampak langsung pada kondisi psikologis anak.
“Saya maafkan, Bu. Tapi setelah kejadian itu, mental anak saya turun. Ia merasa dilecehkan dan takut kejadian serupa terulang,” tuturnya.
Dalam pertemuan itu, S juga berjanji memastikan M tetap bisa mengikuti pendidikan hingga kelulusan, bahkan menawarkan keringanan terkait biaya ujian. Namun komitmen tersebut tidak meredam kekhawatiran siswa maupun orang tuanya.
Satu bulan setelah insiden, dugaan lain mencuat. M kembali melapor kepada orang tuanya bahwa S kerap melontarkan sindiran dan ucapan bernada intimidatif, termasuk menyebut dirinya “didukung polisi”, sehingga menciptakan atmosfer sekolah yang dirasakan mengancam oleh siswa.
Dalam beberapa kesempatan, S juga disebut menyampaikan larangan agar siswa tidak melapor kepada orang tua jika terjadi masalah, sebuah pernyataan yang membuat M semakin tertekan karena merasa peristiwa sebelumnya kembali dibahas di hadapan rekan-rekannya.
Orang tua M mengaku telah mendorong anaknya tetap bersekolah karena keterbatasan ekonomi, terlebih setelah pihak sekolah menjanjikan kemudahan proses ujian. Namun perasaan tertekan M semakin kuat ketika pada masa ujian, kartu ulangan M ditahan, sementara siswa lain yang belum melunasi biaya ujian disebut tidak mengalami perlakuan serupa.
“Papih, kartu ulanganku diambil. Padahal yang lain belum bayar juga nggak diambil. Sejak papih terima damai, guru-guru ngomongin aku. Aku jadi trauma,” ungkap M kepada orang tuanya.
Tidak ingin situasi semakin memburuk, orang tua M kemudian melaporkan dugaan perundungan yang berlanjut itu ke Dinas Pendidikan Provinsi Banten. Pengaduan diterima oleh staf bidang pendidikan menengah, sementara pejabat terkait disebut sedang tidak berada di tempat dan berjanji akan menindaklanjuti laporan tersebut.
Orang tua M menegaskan bahwa ia menunggu sikap tegas dari Disdik Banten terhadap dugaan pelanggaran yang terjadi di lingkungan sekolah. Jika tidak ada langkah resmi, ia memastikan akan menggalang dukungan organisasi profesinya untuk menggelar aksi di kantor Disdik.
“Jika tidak ada tindakan dari Disdik Banten, saya akan menggunakan organisasi saya untuk melakukan aksi. Ini bukan hanya soal anak saya, tapi soal perlindungan terhadap siswa,” tegasnya.
Kasus ini kembali membuka diskursus publik mengenai standardisasi perlindungan siswa, transparansi tata kelola sekolah swasta, serta batas kewenangan pemilik yayasan terhadap peserta didik. Kekerasan fisik dan intimidasi verbal, dalam bentuk apa pun, bertentangan dengan prinsip dasar pendidikan dan dapat berdampak jangka panjang pada kesehatan mental siswa.
Pengamat pendidikan menekankan bahwa setiap institusi pendidikan wajib memprioritaskan lingkungan belajar yang aman, mekanisme pelaporan yang melindungi siswa, serta penegakan disiplin yang berorientasi pembinaan bukan kekerasan. Kasus ini masih menunggu penanganan lanjutan dari Disdik Provinsi Banten maupun pihak berwenang lain.(*/Red/cp)






