Oleh Muhammad M Said
Guru Besar Ekonomi Islam dan IKA LEMHANNAS Strategic Centre
DetikSR.id Jakarta – Pandemi COVID-19 yang menelan korban jiwa sekitar 7 juta kematian langsung secara global, ditambah kematian tidak langsung akibat krisis kesehatan, ekonomi, dan sosial yang ditimbulkan belum sepenuhnya pulih. Menurut WHO dan The Economist memperkirakan angka kematian total dapat melampaui 20 juta jiwa secara global.
Di Indonesia, data resmi menunjukkan sekitar 162.000 kematian akibat COVID-19, namun perkiraan kelebihan kematian (excess mortality) selama pandemi mencapai lebih dari satu juta jiwa. Fakta ini menegaskan bahwa skala dampak pandemi sangatlah besar, tidak hanya dari aspek kesehatan tetapi juga dalam dimensi sosial, ekonomi, dan kesejahteraan masyarakat.
Kini, dunia kembali dihadapkan pada serangkaian tragedi kemanusiaan yang lebih mengerikan yaitu konflik Palestina-Israel yang menciptakan krisis yang terus memburuk di Palestina. Genosida terbuka terjadi tanpa nurani kemanusiaan yang menelan korban anak-anak, perempuan, dan warga sipil yang tidak bersenjata. Hingga pertengahan Juni 2025, tercatat antara 55.600 hingga 55.637 orang tewas. Menurut laporan dari The Lancet diperkirakan jumlah korban tewas akibat luka traumatis mencapai 80.000 jiwa, lebih dari 50% adalah anak-anak, perempuan, dan lansia.
Kematian tidak langsung akibat malnutrisi, penyakit, dan hancurnya infrastruktur diperkirakan dapat mencapai 186.000 orang. Fact Sheet IMEU (2024) melaporkan lebih dari 16.750 anak-anak, termasuk 1.300 balita, telah kehilangan nyawa. Lebih dari 1,9 juta orang (sekitar 85%) populasi Gaza harus mengungsi secara massal karena kerusakan infrastruktur medis, air bersih, listrik, dan sistem pangan, yang memperparah penderitaan rakyat sipil dan mendorong lonjakan kematian tidak langsung secara signifikan.
Dampak luas dari perang Rusia-Ukraina dan konflik antara Iran-Israel yang berkembang menjadi perang terbuka mengakibatkan korban jiwa, kerusakan fisik, dan kerugian ekonomi yang masif. Rivalitas strategis antara Amerika Serikat dan Tiongkok turut memicu krisis dan perang dagang serta melahirkan fenomena fragmentasi geoekonomi. Sistem ekonomi global yang terbuka terfragmentasi menjadi blok-blok eksklusif sesuai aliansi geopolitik. Pergeseran ini menjadi ancaman nyata bagi negara berkembang seperti Indonesia, terutama dalam akses dan kestabilan harga energi. Saat ini, energi tidak lagi sekadar komoditas, tetapi telah bermetamorfosis menjadi instrumen kekuatan tawar antarnegara.
Perang Rusia-Ukraina telah menyeret energi menjadi senjata geopolitik. Ketika Uni Eropa menjatuhkan sanksi kepada Rusia, Moskow merespons dengan menghentikan pasokan gas ke Eropa. Efek domino dari kebijakan ini adalah lonjakan harga gas lebih dari 450% dalam waktu setahun, memicu inflasi di negara-negara maju, dan dampaknya menjalar hingga ke negara-negara berkembang. Indonesia yang masih bergantung pada impor LPG merasakan dampaknya secara langsung. Meski gas rumah tangga Indonesia tidak berasal dari Rusia, sekitar 60% kebutuhan LPG diimpor dari Timur Tengah. Ketegangan global tetap berdampak pada lonjakan harga energi. Pemerintah pun terjebak dalam dilema antara menaikkan harga energi yang memicu kemarahan publik atau memperbesar subsidi yang membebani APBN.
Krisis global juga memunculkan gerakan dedolarisasi, sebuah istilah pertama kali diperkenalkan Goldman Sachs, Jim O’Neill pada tahun 2001, untuk menggambarkan empat negara dengan potensi ekonomi besar, yaitu Brasil, Rusia, India, dan Tiongkok. Agenda strategis BRICS mencakup perdagangan lintas negara dengan menggunakan mata uang lokal sebagai alat transaksi, menggantikan dominasi dolar Amerika Serikat, yang mengakibatkan ketergantungan pada lembaga seperti IMF dan Bank Dunia mulai berkurang.
BRICS bahkan membentuk New Development Bank (NDB) sebagai lembaga keuangan perantara untuk membiayai proyek-proyek antaranggota. Gerakan dedolarisasi dan kehadiran NDB membawa dampak ekonomi dan psikologis bagi Amerika Serikat.
Secara ekonomi bisa dilihat dari menurunnya permintaan terhadap dolar AS. Dampak ini mengurangi keuntungan seigniorage dan melemahkan kekuatan ekonomi AS secara bertahap. Negara-negara berkembang kini memiliki alternatif pembiayaan yang mengurangi leverage politik AS dalam mempengaruhi kebijakan ekonomi melalui utang bersyarat.
Secara psikologis, dedolarisasi, NDB, dan mekanisme Contingent Reserve Arrangement (CRA) menjadi sinyal kuat bahwa arsitektur keuangan global berbasis kapitalisme tengah mengalami perubahan paradigma, dari sistem unipolar menuju multipolar. AS tidak saja kehilangan posisi dominan sebagai penjaga gerbang keuangan dunia, tetapi juga munculnya sistem pembayaran alternatif menjadi tantangan bagi tatanan pasca-Bretton Woods, yang berpotensi meningkatkan ketegangan strategis dalam kebijakan luar negeri dan moneter Amerika Serikat.
Bagi Indonesia, dedolarisasi bisa menjadi peluang untuk mendiversifikasi mitra dagang, memperkuat cadangan devisa, dan memperkuat sistem keuangan domestik. Namun, peluang ini hanya bisa dimanfaatkan apabila disertai dengan strategi yang matang. Jika tidak, Indonesia bisa tergelincir dalam ketidakstabilan nilai tukar dan beban biaya impor energi yang semakin tinggi.
Dalam kondisi krisis energi yang semakin kompleks, sudah saatnya Indonesia mengandalkan kekuatan domestik dengan mempercepat transisi energi terbarukan (EBT) sebagai jalan menuju kedaulatan energi. PLN telah memulai langkah penting melalui program Renewable Energy Based on Industrial Development (RE-BID) yang menyasar pengembangan PLTA, bioenergi, PLTS, hingga pemanfaatan limbah sebagai sumber energi.
Dalam konteks krisis multidimensi ini, keuangan syariah hadir tidak hanya sebagai solusi pembiayaan alternatif, tetapi juga sebagai instrumen strategis untuk mendorong transisi energi yang adil, mandiri, dan berkelanjutan.
Keuangan Syariah bagi Transisi Energi Berkeadilan Transisi energi membutuhkan pembiayaan inovatif dan kolaborasi lintas sektor. Pemerintah perlu mendorong insentif bagi rumah tangga dan UMKM untuk beralih ke energi surya. Di sisi lain, cadangan energi nasional seperti gas, batu bara, dan BBM perlu diperkuat sebagai bantalan menghadapi krisis global.
Keuangan syariah tidak lagi dipandang sebagai solusi alternatif, melainkan sebagai instrumen kuat dan bagian integral dari pembiayaan nasional. Secara nyata, keuangan syariah telah menunjukkan kontribusinya dalam mewujudkan peradaban ramah lingkungan dan pembiayaan transisi energi melalui penerbitan Green Sukuk (sukuk hijau) sejak 2018 yang digunakan untuk membiayai proyek-proyek berwawasan lingkungan seperti PLTS, PLTB, konservasi hutan, dan proyek lain yang tidak mampu dibiayai oleh APBN yang terbatas. Karena berbasis aset nyata (asset-based), sukuk sangat cocok untuk infrastruktur energi terbarukan, dengan transparansi dan keterlacakan dana yang tinggi, yang memperkuat kepercayaan publik dan investor internasional.
Selain sukuk hijau, keuangan syariah juga dapat mengembangkan instrumen Wakaf Energi (Energy Waqf), yang mendukung akses energi bersih di daerah tertinggal dan wilayah terisolasi, serta penerangan fasilitas umum tanpa beban biaya operasional besar. Cash Waqf Linked Sukuk (CWLS) juga dapat dioptimalkan untuk proyek energi ramah lingkungan di komunitas miskin atau wilayah rentan.
Zakat produktif pun dapat diorientasikan untuk mendukung transisi energi mikro bagi UMKM dan mustahik baik melalui bantuan panel surya, subsidi konversi energi, maupun peningkatan ketahanan energi mikro berbasis komunitas. Seluruh instrumen ini sejalan dengan Maqasid Syariah (hifz al-nafs, hifz al-mal) serta nilai-nilai ESG (Environmental, Social, Governance) karena menghindari riba, gharar, dan maysir, serta mendorong ekonomi etis dan berkelanjutan.
Dalam realitas fragmentasi geoekonomi yang penuh ketidakpastian ini, Indonesia tidak cukup hanya mengandalkan energi fosil impor yang rentan terhadap fluktuasi geopolitik dan tekanan pasar global. Artinya, strategi energi nasional harus segera berpindah dari ketergantungan pada sumber energi fosil ke arah penguatan EBT yang berkeadilan dan berkelanjutan.
Dengan kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto yang memiliki posisi strategis di panggung internasional, kita berharap Indonesia berani memimpin transisi energi yang adil, ramah lingkungan, dan berbasis kemandirian nasional. Keberanian ini akan menempatkan Indonesia sebagai pemain utama dalam tatanan dunia baru. Semoga.(*/Red)