JIHAD MORAL MENJADI BENTENG AKHLAK BANGSA, Refleksi di Momen Hari Santri 2025

Berita Daerah15 Dilihat

Oleh: Dr. Muslich Taman, Lc, Humas SMAN I Rumpin & Penulis Buku: Guru Sang Arsitek Masa Depan

DetikSR.id | Bogor – Tanggal 22 Oktober 1945 bukan sekadar angka dalam kalender sejarah. Ia adalah tonggak penting perjuangan bangsa Indonesia. Saat para ulama dan santri ‘turun gunung’, bukan dengan kata-kata, tetapi dengan nyawa. Pada hari itu, KH.Hasyim Asy’ari mengeluarkan Resolusi Jihad, sebuah seruan suci untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari ancaman kembalinya penjajah Belanda, yang membonceng sekutu.

Isi Resolusi Jihad sangat tegas: bahwa membela tanah air dari penjajah adalah fardhu ain bagi setiap muslim yang mampu. Seruan ini menjadi bahan bakar spiritual dan moral pertempuran besar di Surabaya pada 10 November 1945, yang kemudian dikenang sebagai Hari Pahlawan. Di balik kobaran senjata, Resolusi Jihad menunjukkan bahwa agama dan nasionalisme tidak bertentangan. Melainkan saling menguatkan.

Namun kini, 80 tahun telah berlalu sejak fatwa monumental itu diumumkan. Penjajah bersenjata telah pergi, namun tantangan zaman justru semakin kompleks. Tidak lagi dalam bentuk moncong senapan, melainkan dalam rupa kemalasan, kebodohan, kemiskinan, perpecahan, permusuhan pada saudara, dan krisis moral. Maka, pertanyaan yang relevan, “Apa bentuk Resolusi Jihad hari ini?”

Jihad Intelektual: Menuntut Ilmu sebagai Ibadah.
Santri hari ini tidak lagi dituntut mengangkat senjata. Tetapi mengangkat pena, membaca buku, mengkaji kitab, berdiskusi, dan mengasah akal. Dalam dunia yang bergerak cepat oleh teknologi dan informasi, jihad santri adalah jihad intelektual: belajar dengan sungguh-sungguh, memperkaya wawasan, menggali ilmu pengetahuan, dari siapa pun dan di mana pun. Tanpa merasa cukup dan tanpa mengenal lelah.

Menuntut ilmu bukan sekadar tugas pribadi, tetapi bagian dari pengabdian kepada agama dan bangsa. Jangan pernah menyerah dalam mengejar cita-cita. Sebab, sebagaimana pesan Imam Asy-Syafi’I, “Barangsiapa yang tidak tahan letihnya belajar, maka ia akan menanggung perihnya kebodohan.”

Santri masa kini harus menjadi pelita di tengah kegelapan zaman. Menguasai ilmu agama sekaligus ilmu dunia, serta mengamalkannya dengan ikhlas demi kemaslahatan umat. Inilah jihad: menghidupkan ilmu dan menebarkannya.
Jihad Sosial: Merajut Persatuan dan Merawat Kebersamaan.

Jihad juga tidak hanya soal individual, tetapi juga sosial. Santri mesti menjadi agen perekat di tengah masyarakat, yang kerap tercerai-berai oleh perbedaan dan kepentingan. Jihad sosial adalah membangun hubungan yang harmonis, menjadi penghubung bukan pemutus, perekat bukan peretak, dan pemersatu bukan pemecah belah.

Sebagaimana para kiai dulu menjadi tokoh pemersatu dan pencerah, maka santri kini dituntut menjadi pelopor kehidupan sosial yang penuh kasih sayang, saling menghargai, dan saling menguatkan. Menjadi penjaga persatuan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Generasi muda mesti ingat pesan emas yang digaungkan oleh KH. Hasyim Asy’ari: “Hubbul Wathan Minal Iman (Cinta tanah air sebagian dari iman).” Pernyataan ini bukan sekadar slogan, tetapi bentuk nyata bagaimana keislaman dan keindonesiaan bersatu dalam jiwa. Mengalir bersama dalam urat nadi santri.

Jihad Moral: Menjadi Benteng Akhlak Bangsa.
Di tengah derasnya arus budaya asing yang cenderung membawa nilai-nilai yang merusak, santri adalah benteng terakhir moral bangsa. Jihad moral berarti menjaga akhlak, menjadi teladan dalam kejujuran, kesederhanaan, dan integritas.

Kasat mata, betapa mudahnya generasi muda terseret dalam gaya hidup permisif, kehilangan arah, dan menjauh dari nilai-nilai luhur. Di sinilah semangat santri harus hadir. Bukan menghakimi, tetapi menuntun. Bukan menendang, tetapi merangkul. Bukan mengejek, tetapi mengajak. Bukan hanya dengan dalil, tetapi juga dengan keteladanan.

Imam Al-Ghazali pernah berkata, “Rusaknya manusia, karena rusaknya ulama. Dan rusaknya ulama, karena cinta dunia.” Santri, sebagai calon ulama, memikul tanggung jawab besar untuk menjaga integritas moral, menjauh dari cinta dunia yang membutakan, dan terus menerangi jalan umat.

Jihad: Bukan Hanya Perang, Tetapi Perjuangan Sehari-hari.
Momentum Hari Santri 2025 ini harus menjadi ruang refleksi. Bahwa jihad bukan melulu tentang perang fisik. Jihad adalah perjuangan tanpa henti untuk menata kehidupan —secara intelektual, sosial, dan moral. Jihad hari ini adalah membentuk peradaban yang berkeadilan, berilmu, dan berakhlak.

Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 adalah warisan agung yang tak boleh lapuk dan mati dalam buku sejarah. Ia harus terus hidup, dinamis, menjelma dalam perilaku santri dan para penuntut ilmu. Di ruang kelas, di tengah masyarakat, di panggung-panggung keilmuan dan kebudayaan.

Mari kita warisi semangat itu, dengan menyadari bahwa tanah air ini memanggil bukan untuk dipertahankan dengan peluru, tetapi dengan ilmu, cinta, dan keteladanan. Santri dan para penuntut ilmu harus menulis sejarah baru. Sejarah yang tak lagi ditorehkan dengan darah, tetapi dengan gagasan, kerja nyata, dan akhlak mulia. Imam Al-Ghazali mengatakan, “Jika kamu bukan anak raja, juga bukan anak ulama besar, maka jadilah penulis,” tegasnya.

Selamat Hari Santri 2025. Santri Siaga Jiwa Raga, Merawat Indonesia, Membangun Peradaban Dunia!(Dayat/MT)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *