Oleh: Yakub F. Ismail
DetikSR.id Jakarta – Tepat tiga pekan lalu, lembaga survei Indikator Politik Indonesia merilis hasil survei mengenai tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja enam gubernur di pulau Jawa.
Berdasarkan pertanyaan yang diajukan, responden diminta untuk memberikan pendapat soal tingkat kepuasan terhadap kinerja para gubernur.
Level kepuasan tersebut disusun mulai dari tingkat ‘tidak puas sama sekali’, ‘kurang puas’, ‘cukup puas’, dan ‘sangat puas’. Sementara sisanya ‘tidak ada tanggapan’.
Hasilnya cukup mengejutkan di mana, Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X memperoleh tingkat kepuasan dengan level ‘cukup puas’ tertinggi dibandingkan lima gubernur lainnya, dengan perolehan skor 66 persen.
Posisi kedua ditempati Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parwansa dengan raihan skor 62 persen, lebih tinggi dibandingkan Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung dan Gubernur Jawa Tengah Ahmad Luthfi, yang sama-sama meraih 57 persen suara.
Sementara, Gubernur Banten Andra Soni menempati urutan terakhir dengan raihan poin 48 persen atau sedikit lebih rendah dibandingkan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi yang meraih suara 54 persen.
Hasil survei tersebut sangat menggemparkan mengingat angka persentase kepuasan masyarakat dinilai tidak sesuai dengan fakta di lapangan.
Ambil contoh, Dedi Mulyadi di Jawa Barat yang beberapa bulan terakhir pasca dilantik namanya begitu ramai diperbincangkan lantaran gaya komunikasi politik dan gaya kepemimpinannya yang cenderung populis.
Masyarakat, tidak hanya di Jawa Barat, yang memandang popularitas Dedi Mulyadi jauh melampaui gubernur manapun, tidak menyangka kalau ketenaran Dedi Mulyadi justru bertolak belakang dengan realita survei.
Padahal, sejumlah gebrakan program dan kebijakan Dedi akhir-akhir ini boleh dibilang mendapat banyak pujian dari masyarakat.
Bahkan, beberapa warga di luar Jawa Barat, mengeluarkan pernyataan “candaan” di mana meminta Dedi Mulyadi agar bersedia menjadi gubernur di wilayahnya.
Lantas, mana yang benar antara hasil survei dengan kenyataan di lapangan?
*Membedah Fakta*
Beberapa kesangsian yang tampak nyata dari hasil survei secara tidak langsung menimbulkan keraguan di benak sejumlah pihak.
Setidaknya, ada dua pertanyaan muncul pasca Indikator mengeluarkan hasil surveinya itu. Pertama, siapa yang diwawancarai? Apakah jawaban respondens mewakili fakta di lapangan?
Mengenai siapa yang diwawancarai lembaga survei sangat penting karena jawaban mereka menentukan hasil yang ada.
Apakah orang-orang yang di survei benar-benar memberikan keterangan sesuai realitas di lapangan, atau jangan-jangan semua hanya opini pribadi tanpa alasan yang jelas?
Tentu kita percaya kerja survei, sepanjang metodologi dan responden yang dipilih dapat diuji kebenaran, keakuratan dan reliabilitasnya (keabsahannya).
Mari kita ambil contoh, ada 100 orang yang kebetulan dipilih baik secara intensional (orang-orang yang sudah ditentukan sejak awal) atau juga dipilih secara random (siapa saja yang ditemui di lapangan) untuk diwawancara.
Lalu, mari kita berandai-andai (karena asumsinya kita belum tahu apa yang ada di isi kepala responden) bahwa responden sudah punya preferensi tertentu.
Dengan begitu, anggaplah dari 100 orang itu 70 persen mendukung atau setuju dengan pertanyaan sementara sisanya tidak setuju atau tidak memberikan komentar.
Maka, dari sini sudah bisa ditebak responden yang memberikan jawaban tidak mungkin berbeda dengan preferensi (kecenderungan sikap atau pandangan) tentang sesuatu/seseorang.
Karena kita berasumsi bahwa 100 responden ini mewakili seluruh populasi yang ingin kita uji pendapat/pandangannya maka, kita berkesimpulan hasil pandangan 100 orang (yang kebetulan punya preferensi tertentu itu) adalah pandangan dari seluruh populasi yang ada.
Sekilas secara metodologi tidak ada persoalan. Namun, secara faktual apakah ia bisa dikatakan mewakili realitas? Sampai di sini muncul dua pihak, ada yang setuju dengan survei itu dan pihak lain akan menolaknya dengan alasan tertentu.
Penulis sendiri dalam melihat survei ini lebih pada pandangan yang kedua, dengan pertimbangan apa yang dihasilkan dari survei tersebut belum sepenuhnya merepresentasikan fakta yang ada.
Alasannya sederhana, orang yang diwawancara tidak diketahui siapa dan pendapat yang disampaikan tidak bisa dijadikan tolok ukur untuk menjustifikasi fakta yang ada.
Kembali ke Banten, penulis yang lahir, tumbuh dan besar di daerah ini, masih ragu terhadap angka statistik mengenai tingkat kepuasan survei Indikator ini.
Di lapangan, justru Gubernur Banten Andra Soni menunjukkan kinerjanya yang positif sebagai seorang pemimpin daerah dengan bukti yang dapat divalidasi.
Sejumlah gebrakan penting yang patut diapresiasi di masa kepemimpinan Andra Soni di Banten ini di antaranya peluncuran Program Penghapusan Tunggakan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) yang mengundang antusiasme masyarakat setempat.
Diketahui, baru terhitung dua hari program itu dijalankan, pendapatan PKB langsung tembus angka Rp17 miliar pada Jumat (11/4/2025).
Program berikutnya yang tak kalah menarik yakni program “Bang Andra” alias akronim dari Program Bangun Jalan Desa Sejahtera.
Program ini dinilai cukup memberikan manfaat yang besar terhadap masyarakat dikarenakan dampak nyata yang langsung dirasakan warga desa.
Program ini akan dibangun di delapan titik lokasi di seluruh Banten. Sekitar 12 kilometer jalan desa ditargetkan selesai pada tahun ini.
Selain itu, melalui program “Banten Ramah”, Andra Soni juga mampu membuka lebar keran investasi di wilayah tersebut.
Program Banten Ramah merupakan program yang diusung Andra-Dimyati untuk mendorong dan menjaga investasi, kemudahan industri dan penyerapan tenaga kerja di Provinsi Banten.
Adapun berdasarkan evaluasi kinerja 100 hari pertama, realisasi Investasi di Provinsi Banten pada Triwulan I 2025 mencapai Rp31,1 triliun, dengan capaian relasasi tersebut membuat Provinsi Banten menempati posisi 5 besar secara nasional.
Andra Soni juga mencoba menghadirkan Banten Cerdas yang bertujuan mencetak SDM Banten unggul.
Program Banten Cerdas fokus pada bidang pendidikan dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang dapat berdaya saing dan unggul.
Dalam mewujudkan program tersebut Andra-Dimyati telah meluncurkan Program Sekolah Gratis untuk tingkat SMA/SMK dan Sekolah swasta. Program itu akan dimulai pada awal tahun ajaran baru 2025/2026. Di tahun pertama pelaksanaannya difokuskan pada kelas X, di tahun kedua sampai kelas XI dan di tahun ketiga sampai kelas XII.
Melihat banyaknya program prestisius yang digencarkan Andra Soni membuat wajar jika Banten kini tepatnya menempati posisi pertama kepuasan masyarakat setempat.
*Beda Pemimpin, Beda Strategi*
Hal yang tidak bisa diabaikan dalam mengukur kepemimpinan seseorang ialah karakter dan strategi yang dimiliki.
Percaya tidak percaya, setiap pemimpin punya sikap, pandangan, tabiat, dan strateginya masing-masing.
Pramono Anung sudah pasti tidak sama dengan Dedi Mulyadi dalam hal gaya komunikasi politik. Juga halnya dengan Kohofifah dan Andra Soni dalam hal membangkitkan optimisme warga membangun daerah. Masing-masing punya style dan cara yang tidak bisa disamakan.
Lalu, atas dasar apa kita menyimpulkan bahwa perbedaan gaya dan cara itu sebagai pembeda nilai?
Logika sederhananya begini, ada dua wilayah yang sama-sama menghadapi persoalan serius di sektor industri, pendidikan dan kesehatan.
Namun, masing-masing dari pemimpin kedua daerah menempuh langkah berbeda untuk mengatasinya. Yang satu memprioritaskan pendidikan sebagai langkah awal perbaikan atau pembangunan.
Sementara, pemimpin yang satunya memilih membangun industri terlebih dahulu karena dengan kemajuan industri akan menyerap banyak lapangan pekerjaan, sehingga darisana akan hadir kesejahetraan. Dari kesejahetraan inilah setiap keluarga akan bangkit dan mandiri dalam memenuhi kebutuhan pendidikan anak.
Lantas, apakah perbedaan cara dan strategi pembangunan kedua kepala daerah dianggap salah? Sulit untuk menunjukkan di mana letak kekeliruannya. Inilah yang terjadi dengan hasil survei soal kepuasan kinerja enam gubernur yang dilakukan lembaga survei Indikator.
Penulis hanya ingin menegaskan bahwa setiap pemimpin punya visi-misi dan strategi dalam membangun daerahnya. Dan perbedaan ini tidak bisa digeneralisir seolah-olah yang satunya baik dan yang lainnya buruk.
Parameter keberhasilan dan kegagalan ada pada hasil akhir. Sementara, saat ini para gubernur yang disurvei itu barulah menyusun dan memulai langkahnya.
Boleh jadi, ada gubernur yang progresnya sudah 30 persen dari rencana awal dan target pembangunan selama 5 tahun ke depan.
Sedangkan yang lain mungkin ada yang baru 20 persen atau bahkan 10 persen. Namun, ini juga bukan satu-satunya ukuran.
Karena publik pun tidak mengetahui secara pasti dari mana start awal pembangunan yang diambil masing-masing gubernur.
Selain itu, penetapan langkah prioritas juga menentukan progres awal dari performasi kepemimpinan. Bagi kepala daerah yang memilih mengambil langkah mudah ke yang sulit akan terlihat progres di awal, tapi mendekati akhir akan terlihat jalan di tempat.
Sebaliknya, kepala daerah yang memilih menempuh jalan terjal (langkah berat) di masa awal kepemimpinan akan terlihat belum banyak melakukan apa-apa karena yang dijalankan membutuhkan waktu, tenaga, biaya dan kesabaran. Dan konsekuensinya akan terlihat seperti tidak ada progres yang berarti.
Tapi muara dari semua ini akan tampak di akhir masa kepemimpinan. Ketika mendekati garis finis (5 tahun menjabat), semua nilai pembangunan akan terlihat dengan gamblang, siapa yang layak mendapat poin tinggi dan rendah akan terukur secara objektif dan akurat.(*/Red)
Penulis adalah Ketua Umum Ikatan Media Online (IMO) Indonesia