DetikSR.id Jakarta – Polemik kenaikan tarif sewa kios di kawasan Blok M, Jakarta Selatan, terus menjadi sorotan publik. Penasihat Koperasi Pedagang Pasar Pusat Melawai (KOPEMA), Mumu Mujtahid, menilai pemberitaan yang beredar selama ini cenderung sepihak dan merugikan koperasi maupun para pedagang kecil yang menjadi anggotanya.
Menurut Mumu, Gubernur DKI Jakarta seharusnya tidak serta-merta menerima laporan dari pihak MRT tanpa mendengar penjelasan dari koperasi. “MRT sebenarnya juga merasa malu dengan kejadian ini. Tapi yang keluar ke publik kok seolah-olah hanya satu sisi. Apakah mereka sudah tanya ke koperasi? Kalau dibilang ada pelanggaran, pelanggaran di mana?” ujarnya.
Skema Sewa Kios Sesuai Perjanjian
Mumu menjelaskan, dalam perjanjian kerja sama antara MRT dan KOPEMA, ketentuan sewa kios sudah jelas. Jika digunakan langsung oleh anggota, tarifnya Rp300 ribu per bulan. Namun, jika disewakan kepada pihak lain, berlaku tarif Rp1,5 juta ditambah jaminan Rp1,5 juta dan service charge Rp100 ribu per bulan.
“Kalau pemegang hak pakai harus bayar Rp1,5 juta, apa yang mereka dapat? Malah nombok dengan tambahan Rp100 ribu,” tegasnya.
Riak Penolakan dan Pembiaran
Mumu menambahkan, KOPEMA sejak awal justru berperan mengajak pedagang masuk ke kawasan Blok M secara baik-baik. Namun, belakangan terjadi kericuhan ketika sejumlah pedagang menolak kenaikan harga sewa.
“Dari Juni sampai akhir Agustus, kita sudah buka ruang diskusi soal rencana MRT. Tapi tidak pernah direspons. Yang terjadi malah kios dirusak dan dua bulan terakhir (Juli–Agustus) tidak dibayar, padahal itu masih harga lama,” jelasnya.
Ia juga menyayangkan munculnya narasi sepihak di media sosial yang menurutnya merugikan koperasi. “Jangan karena punya banyak pengikut di medsos, lalu seenaknya mendzolimi koperasi yang anggotanya juga pedagang kecil. Ini tidak adil,” pungkasnya.
KOPEMA dalam Konteks Regulasi
Sebagai informasi, KOPEMA sejatinya merupakan wadah resmi bagi para pedagang kaki lima (PKL) yang ditempatkan oleh Pemprov DKI Jakarta sejak 1992 melalui Perda No. 8/1992 tentang Pengusaha Perpasaran Swasta. Artinya, koperasi ini memiliki peran strategis dalam pembinaan pelaku usaha kecil agar dapat menjadi mitra sehat bagi pusat-pusat perbelanjaan modern.
Pemprov DKI juga sebenarnya memiliki instrumen hukum untuk memperkuat posisi pedagang kecil, yakni Perda No. 2/2018 tentang Perpasaran yang mewajibkan pengelola pusat perbelanjaan menyediakan tempat bagi usaha kecil dan menengah (UKM). Namun, hingga kini belum ada aturan turunan yang secara rinci mengatur pola kemitraan, khususnya terkait pembiayaan.
Padahal, dalam Keputusan Gubernur No. 44/2003 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perpasaran Swasta disebutkan bahwa pedagang yang ditempatkan di lokasi kewajiban penyediaan tempat seharusnya hanya dikenakan biaya sebesar 30% dari service charge umum.
Harapan untuk Jalan Tengah
Dengan adanya polemik ini, Mumu menegaskan bahwa solusi bukanlah saling menyalahkan, melainkan duduk bersama antara Pemprov, MRT, pengelola pusat perbelanjaan, dan koperasi. “Yang paling penting, pedagang kecil jangan terus-menerus jadi korban. Pemerintah harus hadir memberi pembinaan sekaligus memastikan aturan berjalan adil,” ujarnya. (Ervinna)