DetikSR.id Bogor – Ririn begitulah ia biasa dipanggil. Sosoknya dikenal pendiam dan pemalu oleh teman-temannya, baik saat di sekolah maupun di yayasan tempat dia belajar ilmu agama. Ririn tampak sebagai remaja yang kurang percaya diri dan kurang suka bergaul layaknya remaja seusianya. Dan begitulah memang faktanya, aku Ririn. Dia sebenarnya ingin menjadi sosok yang suka bergaul dan senang bercanda. Namun, itu tidak mudah untuk dia dilakukan. Begitulah pengakuan Ririn saat dihubungi oleh awak media.
Lebih lanjut Ririn menceritakan tentang dirinya, “Aku bukan orang yang mudah percaya diri. Bahkan, untuk sekadar memulai percakapan saja, rasanya seperti ada tembok tinggi yang menghalangi di depanku. Sulit dan berat. Namun, justru dari situlah aku berpikir, mungkin potensi diriku ada pada sikap diam. Dan benar, kini aku mulai sadar bahwa diamku ternyata bisa melahirkan karya. Aku menulis dan terus mencoba belajar menulis. Dari tulisan itu, aku menemukan dunia baru —dunia di mana aku bisa berbicara tanpa harus bersuara. Tulisan-tulisan kecilku pun akhirnya mengantarkan ku menjadi juara 1 lomba cerpen tingkat nasional yang diselenggarakan oleh Fantasy 6.0 IPB University. Mulai saat itulah aku makin yakin, bahwa kepribadian pemalu dan diamku bukanlah kelemahan. Melainkan, sebuah jalan yang Allah ciptakan untuk menemukan kekuatan yang mungkin orang lain tidak punyai.”
Sebenarnya, meski perjalanan hidup yang kujalani tidak mudah, namun aku bersyukur karena pernah meraih beragam prestasi sejak kecil. Saat SD kelas 1, aku mendapat penghargaan sebagai murid pertama yang lancar membaca, sekaligus menjadi peringkat 1 di kelas. Saat SMP pun begitu, ketika di kelas 8 aku meraih peringkat 1. Aku juga pernah juara 2 lomba menyanyi, menjadi salah satu penulis cerpen terbaik di SMP, dan pernah mengikuti program beasiswa menulis cerpen, meski buku kami yang rencananya akan diterbitkan, tetapi akhirnya tidak jadi diterbitkan. Saat mondok dan tinggal di yayasan, aku mendapat penghargaan sebagai santri paling rajin. Dan yang paling berkesan di tahun ini, aku berhasil meraih juara 1 tingkat nasional, ajang lomba menulis cerpen tingkat SMA.
Aku kini menjadi Siswa kelas XII SMAN 1 Rumpin, sekolah yang menjadi saksi perjuanganku dalam menuntut ilmu. Aku tinggal di Pondok Pesantren Yayasan Bening Nurani yang lokasinya tak jauh dari sekolah. Di Yayasan inilah aku ingin belajar hidup mandiri, dengan menjalani hari-hari berpisah dari keluarga. Penuh suka cita, pahit getir, warna-warni, dan lika-liku yang kadang berat diceritakan. Tetapi aku sadar, karena semua itu atas keinginanku sendiri, maka aku pun harus bersungguh-sungguh menjalaninya.
Sejak umur 12 tahun, aku sebenarnya sudah memilih cita-cita ingin menjadi ustadzah yang hafidzah dan sekaligus penulis. Meski dalam perjalanannya aku merasa banyak rintangan yang menghadang, salah satunya adalah masalah ekonomi, khususnya semenjak ditinggal sosok abah yang sangat kucintainya. Tepatnya, saat aku kelas 1 SMA, sang abah pergi meninggalkanku untuk selama-lamanya. Sosok abah yang pekerja keras dan tangguh menjadi kenangan yang tak pernah hilang dari benakku. Aku pun pernah mengalami masa kritis yang nyaris putus asa. Namun, aku tersadar, bahwa takdir yang aku alami adalah ujian hidup yang harus dihadapi dan tidak boleh gagal. Aku harus bangkit,kuat, tegar, dan mampu menghadapinya agar abah bangga di kuburnya.
Aku ingin meneladani almarhum abah yang sangat mencintai ilmu dan berjuang untuk ilmu. Aku juga terinspirasi dari sosok Ustadzah Halimah Alaydrus dan Ustadzah Oki Setiana Dewi, sosok yang inspiratif bagiku. Pernah terlintas dalam hatiku untuk melanjutkan pendidikan agama ke Mesir, agar bisa lebih dalam menimba ilmu. Namun aku sadar, semua itu tidak mudah. Kini aku hanya bisa berikhtiar, selebihnya aku serahkan kepada Allah yang punya segalanya, dengan senantiasa memperbanyak doa kepada-Nya.
Aku juga benar-benar ingin menjadi penulis. Sejak kecil aku senang membaca novel, menulis cerita, bahkan menggambar. Aku sempat terinspirasi oleh karya-karya penulis dan aktris seperti Prilly Latuconsina. Bukunya Fatamorgana dan puisinya 5 Detik dan Rasa Rindu membuatku semakin semangat berimajinasi tentang kehidupan.
Adapun motivasiku untuk menjadi hafidzah (penghapal Al-Qur`an), meski saat ini hafalan Al-Qur`anku masih berantakan, imanku naik turun, dan rasa malas sering datang, karena aku ingin di akhirat kelak bisa memakaikan mahkota di kepala kedua orangtuaku. Tentu itu sebuah puncak kebahagiaan. Pokoknya aku tidak mau menyerah. Umi dan abah selalu menjadi penyemangatku untuk semua itu. Aku yakin, tidak ada usaha yang sia-sia.
Semboyan dan motivasi yang selalu kupegang dalam hidup ini adalah “Kamu tidak harus hebat saat memulai, tetapi kamu harus memulai untuk menjadi hebat.” Aku juga yakin, tidak ada kata terlambat untuk berusaha. Meski banyak teman-temanku yang sudah lebih dulu melangkah mendahuluiku, namun aku percaya bahwa selama aku terus berusaha, aku pun bisa.
Dari latar belakang keluargaku yang penuh keterbatasan, aku tetap berusaha untuk kuat. Meski seringkali minder, sulit memulai percakapan, bahkan merasa sendirian, aku berupaya untuk terus melangkah. Di waktu luangku di pondok pesantren, aku menyempatkan waktu untuk membaca dan menulis.
Dari semua perjalanan ini, aku mendapat hikmah bahwa meski hidup penuh rintangan, Allah selalu bersama hamba-Nya yang tidak menyerah, Dia tidak pernah meninggalkan hamba-Nya sendirian. Semoga kelak, cita-citaku menjadi ustadzah, penulis, dan hafidzah Al-Qur`an bisa terwujud, demi Umi, Abah, keluargaku tercinta, dan semua teman-teman baikku. Amin. (*/RH/MT)