DetikSR.id Jakarta – Langkah Presiden Prabowo yang menyetujui untuk membentuk komisi reformasi kepolisian merupakan momentum bagi penghormatan terhadap hak asasi manusia dan penguatan demokrasi Indonesia, serta mengembalikan profesionalitas kepolisian dan sektor keamanan terkait, utamanya TNI. Berbagai insiden yang memperlihatkan represivitas dan penggunaan kekuatan berlebihan aparat kepolisian dalam pengamanan demonstrasi di akhir Agustus lalu pada dasarnya merupakan persoalan berulang, bahkan sejak awal reformasi.
Keberulangan tersebut lahir dari kultur kekerasan dan praktik impunitas yang mengakar. Transformasi Polri (ctt. SETARA Institute menggunakan terma “Transformasi Polri” dalam studi komprehensif yang dilakukan pada 2024) semakin krusial untuk diakselerasi mengingat kinerja pelayanan dan penegakan hukum yang juga kerap mendapat sorotan tajam publik, sehingga melahirkan gerakan tagar #percumalaporpolisi, tegar #satuharisatuoknum dan tagar #noviralnojustice.
Pertama, upaya memperkuat Polri melalui reformasi juga harus dibaca sebagai penguatan sistem keamanan yang demokratis dan tunduk pada hukum dan menghormati HAM. Setiap agenda untuk membangun profesionalitas Polri berada dalam satu tarikan nafas dengan agenda membangun profesionalitas TNI. Membuka ruang penguatan Polisi sama dengan menutup ruang bagi ekspansi militerisme di sektor-sektor di luar sektor pertahanan negara.
Kedua, dalam studi komprehensif mengenai Transformasi Polri, SETARA Institute mendeteksi 130 masalah aktual yang mengemuka dan melekat dalam tubuh Polri, serta mengakibatkan mandeknya transformasi Polri. Sebanyak 130 masalah ini kemudian diringkas menjadi 12 tema masalah yang menuntut penyikapan sistemik oleh institusi Polri, di antaranya kinerja pengawasan terhadap Polri, akuntabilitas proses penegakan hukum, akuntabilitas penggunaan senjata api, orientasi pemidanaan dan penegasan tafsir keamanan dan ketertiban masyarakat, kinerja perlindungan dan pengayoman masyarakat, akuntabilitas fungsi pelayanan publik, hingga tata kelola pendidikan Polri.
Urgensi penyikapan sistemik tersebut semakin diperlukan mengacu kepada kuantifikasi persoalan-persoalan tersebut mengacu kepada hasil survei terhadap 167 ahli yang dilakukan SETARA Institute pada studi tersebut. Hasil survei tersebut, di antaranya, menunjukkan bahwa 61,6 persen atau mayoritas ahli, menilai kepercayaan publik terhadap Polri dalam menjalankan tugas dan fungsinya berjalan buruk. Hanya 16,8 persen yang menyatakan baik. Kemudian mayoritas ahli, atau 49,7 persen menyatakan pengaruh Polri dalam menjaga demokrasi Indonesia berjalan buruk. Hanya 19,8 persen yang menyatakan baik.
Dalam studi tersebut ditemukan juga bahwa 51,2 % atau mayoritas ahli, menyatakan pelaksanaan kepolisian yang demokratis dan humanis berjalan buruk, dan hanya 19,9% yang menyatakan baik. Sementara dalam konteks integritas Polri dalam penegakan hukum, mayoritas ahli atau 58,7 persen juga menyatakan buruk. Hanya 16,6 persen yang menyatakan baik.
Ketiga, dalam rangka mendukung agenda transformasi Polri, SETARA Institute menyusun desain transformasi yang komprehensif. Dalam desain tersebut, terdapat 4 pilar sebagai basis reformasi Polri, yakni Polri yang demokratis-humanis, Polri yang berintegritas-antikorupsi, Polri yang proaktif-modern, dan Polri yang presisi-transformatif.
Dengan basis kerangka 4 pilar tersebut, SETARA menyusun dan merekomendasikan 12 agenda transformasi Polri secara tematik. Pada pilar demokratis-humanis: (1) mewujudkan Polri yang Humanis dan Menjunjung Tinggi HAM; (2) mewujudkan pengawasan yang kuat, partisipatif, dan berlapis; (3) mewujudkan Polri yang inklusif dan ramah gender. Agenda pada pilar integritas-antikorupsi: (1) mewujudkan penegakan hukum yang berkeadilan; (2) mewujudkan institusi Polri yang bebas KKN; (3) mewujudkan independensi Polri yang kuat.
Kemudian pilar proaktif-modern, meliputi: (1) mewujudkan institusi yang profesional dan modern; (2) menjamin rasa aman terhadap semua lapisan masyarakat; (3) mewujudkan lembaga yang transparan, akuntabel, dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Sedangkan agenda pada pilar presisi-transformasif meliputi: (1) mewujudkan SDM Polri yang unggul, siap menghadapi tantangan, adaptif, dan menjadi harapan dan kepercayaan masyarakat; (2) mewujudkan tata kelola pendidikan yang menghasilkan anggota Polri berkualitas dan profesional; (3) membangun sinergitas dan kolaborasi lintas instansi.
Dalam upaya melaksanakan 12 agenda transformasi Polri tersebut, SETARA Institute juga menyusun 24 strategi dalam implementasinya dengan 50 detail aksi. Aksi-aksi tersebut selengkapnya dapat diakses pada link berikut: https://setara-institute.org/wp-content/uploads/2024/10/EBOOK-Desain-Transformasi-Polri_IH.pdf)).
Keempat, transformasi Polri adalah prasyarat mendesak untuk memulihkan kepercayaan publik, memperkuat legitimasi negara hukum, dan melindungi ruang demokrasi dari praktik represif. Polri yang modern dan humanis dapat menjadi katalisator penting bagi terciptanya iklim demokrasi yang sehat dan inklusif. Penghormatan terhadap HAM dalam penegakan hukum akan memperkuat kepercayaan masyarakat, sementara penegakan hukum yang adil akan menjamin kepastian dalam pembangunan ekonomi. Dengan demikian, peran Polri tidak bisa dipandang semata sebagai aparat keamanan, melainkan sebagai institusi strategis yang menopang transformasi bangsa menuju Indonesia Emas 2045.
Kelima, penguatan demokrasi Indonesia dan reformasi sektor keamanan merupakan agenda utama penguatan supremasi sipil. Dalam perspektif demikian, Presiden perlu menempatkan reformasi Polri dan reformasi TNI sebagai agenda kembar yang tidak terpisahkan. Agenda transformasi Polri memastikan bahwa keamanan domestik dikelola oleh institusi sipil yang demokratis dan akuntabel. Sementara reformasi TNI untuk memastikan bahwa militer dikembalikan sepenuhnya pada mandat konstitusionalnya pada bidang pertahanan negara. Dalam konteks itu, Presiden Prabowo mesti memberikan perhatian pada penuntasan agenda-agenda reformasi TNI, dari penegakan larangan bisnis militer hingga revisi UU Peradilan Militer.(*/Red)
Sumber SETARA Institute