Film “Tauhid” Karya Lesbumi Jakarta 1964 Kembali Ditayangkan dalam NGAJI BUDAYA

Berita32 Dilihat

DetikSR.id Jakarta, — Sebuah film langka yang nyaris terlupakan dalam sejarah perfilman nasional, Tauhid (Panggilan Tanah Sutji), akan kembali diputar dalam acara Ngaji Budaya yang digelar Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) NU Jakarta pada Minggu, 10 Agustus 2025 mendatang. Film ini merupakan karya monumental yang lahir di tengah dinamika sosial-keagamaan Indonesia pada awal 1960-an.

Film Tauhid, yang digarap pada 1964 dan sempat ditayangkan secara terbatas sebelum akhirnya tenggelam oleh gejolak politik 1965, menjadi salah satu tonggak penting dalam sejarah film religi Indonesia. Film ini tercatat sebagai film pertama yang mengangkat tema ibadah haji di layar lebar, sebuah pendekatan yang pada masa itu dianggap terobosan, terlebih datang dari komunitas keagamaan yang selama ini dikenal berhati-hati terhadap seni peran dan perfilman.

“Ini momentum mahal dan berharga bagi para sineas muda dan masyarakat luas untuk menonton kembali karya Lesbumi Jakarta tahun 1964. Film ini bukan hanya dokumentasi sejarah, tapi juga perenungan spiritual dan budaya,” ujar H. Ahmad Yusuf, Ketua Lesbumi NU Jakarta sekaligus sutradara senior yang menggagas acara Ngaji Budaya ini.

Jejak Langka dalam Sejarah Perfilman

Dibintangi aktor-aktor besar masa itu seperti Ismed M. Noor, Nurbani Yusuf, Aedy Moward, dan M.E. Zainuddin, film ini disutradarai oleh sastrawan dan sineas Asrul Sani. Proyek ini didukung penuh oleh Lesbumi, sayap kebudayaan dari Nahdlatul Ulama, dengan keterlibatan tokoh-tokoh penting seperti Djamaluddin Malik dan Misbach Yusa Biran.

Tidak hanya itu, sejumlah ulama kharismatik NU seperti KH Saifuddin Zuhri, KH Idham Chalid, dan KH Bahrum Rangkuti juga turut menjadi penasihat demi memastikan nilai-nilai religius dalam film ini sesuai dengan ajaran Islam Ahlussunnah wal Jama’ah. Usmar Ismail, tokoh penting perfilman Indonesia, tercatat sebagai pengawas produksi, meski keterlibatannya dalam alur cerita film ini masih menjadi perdebatan.

“Film agama itu tidak boleh menjadi mimbar dakwah yang kaku. Ia harus menyampaikan perenungan, pencarian,” demikian pesan Presiden Soekarno saat dimintai restu oleh tim produksi, sebagaimana dikisahkan Misbach dalam buku Asrul dalam Film (Pustaka Jaya, 1997).

Dinamika dan Tantangan Produksi

Meski telah mendapat restu Bung Karno, proses produksi film ini jauh dari mudah. Asrul Sani bahkan sempat kesulitan menyusun skenario. Ia lalu menggandeng Misbach Yusa Biran sebagai sparring partner untuk menyusun naskah yang bukan hanya kuat secara naratif, tapi juga menyentuh dimensi teologis dan filosofis.

Film ini mengisahkan pergulatan spiritual seorang pilot, Mayor Udara Mursyid (Ismed M. Noor), yang mengalami perjalanan batin menuju keikhlasan dan penghambaan sejati kepada Tuhan. Karakter lainnya seorang guru agama muda, dokter, dan penulis turut mewakili kompleksitas identitas Muslim Indonesia pada era itu.

Namun, nasib film ini terbenam dalam situasi nasional yang tidak stabil. Meletusnya G30S dan naiknya ketegangan politik membuat film ini tak sempat berkembang luas di publik. Banyak dokumentasi lenyap, dan Tauhid pun hanya menjadi catatan kaki dalam sejarah, hingga kini.

Lesbumi dan Kebudayaan yang Mengakar

Keterlibatan Lesbumi dalam proyek ini juga menjadi catatan tersendiri. Di tengah resistensi sebagian kalangan terhadap budaya populer, Lesbumi justru mengambil langkah progresif dengan menjadikan film sebagai medium dakwah dan refleksi kebudayaan.

Perlu dicatat, sebelum film ini dirilis ke publik, dilakukan preview tertutup yang dihadiri para kiai NU. Djamaluddin Malik dan tim produksi secara terbuka meminta koreksi dan masukan. Ini menunjukkan kehati-hatian sekaligus kesungguhan mereka dalam menjadikan film sebagai bagian dari ekspresi keislaman yang tak bertentangan dengan nilai-nilai tradisi.

Menghidupkan Kembali Warisan yang Terlupa

Pemutaran ulang Tauhid dalam Ngaji Budaya bukan sekadar nostalgia, tetapi juga bagian dari upaya menggali kembali warisan budaya yang nyaris hilang. Bagi generasi muda, ini adalah kesempatan untuk memahami bagaimana Islam, budaya, dan seni bisa berjalan beriringan di masa lalu sebuah pelajaran berharga di tengah tantangan budaya global masa kini.

Acara ini akan diselenggarakan secara terbuka dan diharapkan menjadi ruang dialog antara sejarah, seni, dan identitas keislaman Indonesia. Sebuah panggung yang tepat untuk mengenang kembali visi luhur para pendahulu: bahwa dakwah bisa hadir dengan cara yang indah, dalam bahasa seni yang menyentuh hati.(*/Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *