DetikSR.id Jakarta – Ketua Umum FSP BUMN Bersatu, Arief Poyuono menilai mantan Presiden Soeharto tidak saja layak mendapat gelar sebagai Jenderal Besar, tetapi juga pantas diberi gelar pahlawan nasional.
“Mantan Presiden Soeharto bukan saja sebagai seorang prajurit yang mulai dikenal luas saat Serangan 1 Maret, tetapi ia juga tak ada cacatnya sebagai prajurit. Berjuang untuk kepentingan bangsa,” kata Arief Poyuono.
Contohlah Buya Hamka
Arief menyinggung peran Soeharto dalam peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta, yang secara terkoordinasi direncanakan dan dipersiapkan oleh jajaran tertinggi militer di wilayah Divisi III/GM III dengan mengikutsertakan beberapa pucuk pimpinan pemerintah sipil setempat berdasarkan instruksi dari Panglima Besar Sudirman.
Serangan itu untuk membuktikan kepada dunia internasional bahwa Republik Indonesia masih ada dan tidak menyerah pada Belanda.
Kemudian, pada 1962, Soeharto menjadi Panglima Komando Mandala dalam operasi pembebasan Irian Barat. Menurutnya, peran penting Soeharto di berbagai pergerakan militer membuktikan pengaruh kuat dalam kemerdekaan.
“Cara pandang sejarah terhadap Soeharto ini tidak bisa hitam putih. Sebagai pahlawan nasional, tidak bisa mengabaikan fakta sejarah. Tetapi tidak bisa juga mengabaikan kontribusinya dalam kemerdekaan,” ujarnya.
Ketua Harian FSP BUMN Bersatu, Djusman Hi Umar mengatakan peran Soeharto bukan hanya sebagai prajurit, tetapi juga telah berbuat di bidang pembangunan ekonomi yang manfaatnya sudah banyak dirasakan oleh rakyat Indonesia.
Sebagai contoh, program transmigrasi di era Soeharto dianggap sukses karena mencapai puncak implementasinya dan memindahkan jutaan orang dari Jawa, Bali, dan Lombok ke wilayah lain dengan menyediakan fasilitas dasar seperti rumah, sekolah, puskesmas, lahan, dan jalan.
“Program itu bertujuan untuk pemerataan pembangunan, integrasi nasional, dan menciptakan pusat-pusat pertanian baru,” kata Djusman.
Kemudian, program Sekolah Inpres era Presiden Soeharto sukses karena berhasil membangun lebih dari 61.000 SD Inpres dalam 5 tahun, meningkatkan angka partisipasi SD secara drastis dari 69% menjadi 90%, dan menurunkan angka buta aksara secara signifikan (hingga 15,8% pada 1990).
Kesuksesan tersebut berlanjut hingga tahun 1994 dengan total hampir 150.000 unit SD yang dibangun dan lebih dari 1 juta guru yang ditempatkan. Program itu juga diakui secara internasional dan menerima penghargaan dari UNESCO pada 19 Juni 1993.
“Selain itu, jelas mantan Presiden Soeharto berkontribusi secara nyata sebagai pemimpin atau pejuang, serta tidak pernah mengkhianati negara dan bangsa Indonesia,” Djusman. (Ervinna)






