Hardjuno Wiwoho Sekjen GMS Suarakan Kritis Sosial dengan Lagu ‘Belum Merdeka’

Berita29 Dilihat

DetikSR.id Jakarta – Sekretaris Jenderal Gerakan Hidupkan Masyarakat Sejahtera (HMS) Hardjuno Wiwoho merilis sebuah lagu berjudul  ‘Belum Merdeka’. Lagu ini sebagai refleksi kemerdekaan RI ke 80 Tahun pada 17 Agustus 2025.

“Oh Negeriku… Katanya Makmur… Hei…! Siapa Yang Makmur…? Kami atau Mereka…?,” itulah salah satu isi lirik lagu yang diciptakan dan dinyanyikan Hardjuno Wiwoho yang menggambarkan sudahkah kita merdeka atau belum merdeka.

Lagu kepekaan sosial ini dirilis melalui Channel YouTube Iwan Sujarwanto dengan link : https://youtu.be/EKm1M3TJiRY?si=NiVFFm6QJ-Y8K6VP

Hardjuno Wiwoho yang juga Pengamat Hukum dan Pembangunan ini dalam rilisnya, Senin (1/8/2025) di Jakarta, mengungkapan lagu ini adalah cerminan dari  Potret Kemiskinan Rakyat saat ini. Katanya, masih banyak rakyat yang tidak bekerja, tidak bisa sekolah, masih lapar dan harus mengais sampah untuk makan.

“Lagu berjudul Belum Merdeka ini adalah Potret Kemiskinan Rakyat Indonesia. Dimana ada kesenjangan sosial yang sangat tajam, antara yang kaya dan yang miskin,” ucap Hardjuno sapaan akrabnya.

Hardjuno Wiwoho Soroti Pembentukan Danantara

Sebagai Pengamat Hukum dan Pembangunan, Hardjuno Wiwoho pernah menyoroti ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Khususnya terkait kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam mengaudit Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara).

Dalam Pasal 15A ayat (2) UU tersebut, BPK tidak dapat langsung melakukan audit terhadap keuangan Danantara, kecuali atas permintaan DPR.

Hardjuno menegaskan bahwa memperlakukan Danantara sebagai entitas komersial murni seperti Temasek di Singapura bukanlah masalah.

Namun, jika ingin mengambil model negara maju, maka penegakan hukum terhadap kasus korupsi serta standar etik pejabat pemerintah dan BUMN juga harus mengikuti standar Singapura dan negara-negara maju lainnya.

“Korupsi harus diberantas, indeks persepsi korupsi Indonesia harus naik hingga setara dengan negara-negara maju dan modern. Hanya dengan itu rakyat bisa percaya bahwa Danantara benar-benar akan dikelola secara profesional,” kata Hardjuno.

Kandidat Doktor Universitas Airlangga (Unair) Surabaya ini mengatakan, masalah besar yang dihadapi Indonesia saat ini adalah tingginya angka kasus korupsi, bahkan dengan nilai yang tidak masuk akal. Korupsi sudah mendarah daging dan belum ada kejelasan arah pemerintahan dalam pemberantasannya.

Jika UU BUMN yang baru telah diketuk dan Danantara diperlakukan layaknya entitas komersial murni, maka sebagai penyeimbang, pemerintah harus menunjukkan ketegasan dalam pemberantasan korupsi:
Pertama, pemerintah harus segera mengesahkan Undang-Undang Perampasan Aset. Tanpa aturan ini, sulit bagi negara untuk mengambil kembali uang hasil korupsi yang telah disembunyikan oleh para pelaku.

Kedua, pembuktian terbalik harus diberlakukan tidak hanya untuk pejabat negara, tetapi juga untuk pejabat dan pegawai BUMN serta Danantara. Dengan demikian, siapapun yang memiliki harta di luar kewajaran wajib membuktikan keabsahannya.

Ketiga, hukuman mati bagi koruptor harus diterapkan untuk memberikan efek jera yang nyata, terutama bagi mereka yang menggerogoti dana publik dalam jumlah besar.

“Saat UU BUMN yang baru telah ditetapkan dan kewenangan BPK dipangkas, lalu masyarakat diminta percaya begitu saja bahwa audit independen bisa menjamin keamanan keuangan Danantara yang nilainya mencapai Rp 14 ribu triliun, itu sama saja dengan menempatkan nasib rakyat di mulut buaya dan serigala,” tegasnya.

Angkat Suara Kasus Pagar Laut di Tangerang dan Bekasi

Hardjono Wiwoho juga bersuara terkait pemasangan pagar laut di Tangerang dan Bekasi oleh para oligarki yang bekerja sama dengan pemegang kebijakan. Dirinya menilai sampai saat ini persoalan pagar laut belum cukup jelas akan dibawa ke mana.

“Perlu langkah konkret dari lembaga penegak hukum untuk menuntaskan persoalan ini,” ujar Hardjono Wiwoho, beberapa waktu lalu, Senin (3/2/2024).

Menurutnya, negara harus menunjukkan bahwa hukumlah yang memimpin, bukan kepentingan pengusaha dan birokrasi yang bermain di balik layar.

“Perlu segera ada leading lembaga penegak hukum yang menegaskan proses hukum atas kasus ini. Apakah itu Kejaksaan Agung atau Kepolisian, publik perlu segera mendapat sinyal penegakan hukum yang jelas dan tidak berputar-putar di soal administratif seperti yang melibatkan Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) maupun Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP),” tegas Hardjuno.

Dalam kasus pagar laut, negara harus menunjukkan kekuasaannya dengan tegas. Hardjuno menekankan bahwa masalah pagar laut harus segera direspons dalam kerangka penegakan hukum dan bukan hanya sibuk membahas urusan administratif.

Dia menyebutkan di dalam penegakan hukum terdapat masalah administratif adalah hal sudah semestinya, tetapi publik perlu segera mengerti bahwa negara benar-benar akan mengurus aspek pidananya.

“Yang terpenting bagi publik dalam masalah pagar laut ini adalah bahwa Presiden telah jelas memerintahkan pengusutan tuntas, dan bahwa jelas ada pelanggaran pidana di sana. Maka aparat penegak hukumlah yang harus menjadi leading organisasi yang memimpin penyelesaian kasus pagar laut ini,” tegasnya.

Pemerintah Harus Pedulikan UMKN

Ketua Yayasan Syariah Hardjuno Wiwoho (SHW) Center, Hardjuno Wiwoho menilai Kontribusi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) bagi perekonomian Indonesia sangat signifikan.

Data menyebutkan, kontribusi UMKM terhadap PDB mencapai 60,5%, terhadap total usaha UMKM diperkirakan menyumbang sekitar 99 persen dari total jumlah usaha di Indonesia dan memberikan kontribusi besar terhadap penyerapan lapangan kerja, dengan sekitar 97 persen pekerjaan.

Tak hanya itu, sektor UMKM juga paling tahan terhadap krisis keuangan. Peran UMKM saat ekonomi Indonesia dan dunia dilanda COVID-19 malah makin menunjukkan bahwa sektor usaha rakyat ini sangat tangguh bahkan menjadi benteng pertahanan terakhir sektor ekonomi di saat keadaan krisis.

“Tidak dapat dipungkiri bahwa UMKM juga terkena imbas dari covid-19, namun tetap eksis hingga saat ini. Ini mengkonfirmasikan, UMKM kita sangat kuat,” ujar Founder (Pendiri) sekaligus Ketua Yayasan Syariah Hardjuno Wiwoho (SHW) Center di Jakarta beberapa waktu lalu.

Hardjuno mengatakan, dengan besarnya kontribusi UMKM terhadap ekonomi nasional, SHW Center berikhtiar menjadikan sektor UMKM ini tulang punggung ekonomi nasional.

“UMKM harus menjadi lokomotif penggerak ekonomi di Indonesia melalui aksi nyata yang benefitnya dirasakan langsung masyarakat kecil,” tegasnya.

Dukung OJK Gandeng APH Periksa Bank Mayapada

Hardjuno Wiwoho juga bersuara mendukung penuh langkah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menggandeng aparat penegak hukum (APH) dalam pemeriksaan dugaan penyimpangan Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) Bank Mayapada.

Di sisi lain, bank juga diminta melakukan langkah-langkah penyelesaian permasalahan pelanggaran BMPK tersebut dengan tetap memperhatikan tata kelola yang baik sesuai ketentuan yang berlaku.

Di masa lalu, ujar Hardjuno, penyebab krisis perbankan 1998 disebabkan pemilik bank yang memperkaya diri dari kredit yang diberikan. Bahkan banyak kredit macet, karena pemberian kredit yang asal-asalan sehingga membebani stabilitas sistem perbankan.

Dalam kasus dugaan pelanggaran BMPK ini, Hardjuno berharap concern utama OJK adalah memastikan keselamatan bank dan nasabah-nasabah bank. Hal ini penting demi stabilitas sistem perbankan dan keuangan di Indonesia.

“Kita apresiasi OJK yang mau menggandeng APH dalam pemeriksaan dugaan pelanggaran BMPK Bank Mayapada. Ini kasus serius. Kita belajar dari BLBI, banyak pelanggaran menyangkut BMPK yang berujung kepada skandal besar,” ungkap Harjuno dalam keterangan persnya, Sabtu (8/7/2023) lalu.

Selanjutnya, pegiat anti korupsi ini, mencontohkan dana BLBI yang dinikmati BCA. Nilainya mencapai Rp32 triliun. Anehnya, ada kredit jumbo dari BCA yang mengalir ke Salim grup sebesar Rp52 triliun. Artinya, Salim Grup utang ke BCA sebesar Rp52 triliun.

“Patut diduga, polanya sama dengan BCA dan Mayapada. Kalau di BCA saat itu, kredit mengalir ke grup usaha Rp52 triliun, sedangkan Mayapada sekitar Rp23 triliunan,” ungkapnya. (red/bbs)

Penulis: Gus Din

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *