Ketika Legalitas Menjadi Formalitas, Dari Eksploitasi Hutan Ke Istana

Berita50 Dilihat

DetikSR.id Jakarta – Awal Desember 2025, publik dikejutkan oleh temuan sekitar 4.800 kubik kayu gelondongan asal Sumatera Barat yang terdampar di Pantai Tanjung Setia, Kabupaten Pesisir Barat, Lampung. Jakarta 10 Desember 2025. Pada batang-batang kayu itu terlihat label berwarna kuning bertuliskan “Kementerian Kehutanan (Kemenhut) Republik Indonesia” serta nama perusahaan “PT Minas Pagai Lumber (PT MPL)” dan logo Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Kayu ini diangkut kapal tongkang milik PT Bintang Ronmas Jakarta dari Sikakap, Kepulauan Mentawai menuju Pelabuhan Tanjung Emas, Semarang, namun kapal tersebut kandas pada 6 November 2025 karena cuaca ekstrem sehingga muatannya kemudian terdampar di pesisir Lampung.

Penemuan tersebut memicu kegelisahan publik dan permintaan transparansi. Kepolisian Polda Lampung bersama Kemenhut kini memeriksa keabsahan dokumen registrasi, mengecek anak buah kapal, dan mencocokkan nomor seri SVLK. Pada saat yang hampir bersamaan, Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Aceh dilanda banjir bandang serta longsor besar pada akhir November 2025 yang mengakibatkan korban jiwa, kerusakan infrastruktur, dan kerugian material sangat besar.

Berbagai organisasi lingkungan menilai bahwa bencana itu tidak hanya dipicu cuaca ekstrem, tetapi diperparah oleh rusaknya ekosistem hutan di kawasan hulu. Jejak kayu gelondongan yang terbawa banjir menjadi bukti bahwa pembalakan, baik legal maupun ilegal, telah berlangsung di daerah yang seharusnya berfungsi menjaga tata air dan keselamatan masyarakat.

Fakta bahwa kayu berlabel “legalitas resmi” kemudian hanyut dan terdampar jauh, menguatkan dugaan bahwa legalitas administratif seperti izin dan stiker SVLK bisa saja hanya menjadi formalitas kertas tanpa memperhitungkan kerusakan ekologis dan dampak sosialnya. Karena itu desakan muncul agar aparat penegak hukum, termasuk Ditjen Gakkum LHK dan Satgas PKH, melakukan pemeriksaan menyeluruh sampai ke hulu, memeriksa izin konsesi, lokasi penebangan, serta dampak ekologis di wilayah asal kayu.

Kepemimpinan dalam mengelola hutan telah diingatkan dalam Kitab Suci
Al-Qur’an terkait kriteria kepemimpinan yang benar. Allah SWT berfirman dalam QS Al-Hajj ayat 41:
الَّذِينَ إِنْ مَكَّنَّاهُمْ فِي الْأَرْضِ أَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ وَأَمَرُوا بِالْمَعْرُوفِ وَنَهَوْا عَنِ الْمُنكَرِ
Alladzīna in makkannāhum fil-ardli aqāmūṣ-ṣalāta wa ātauz-zakāta wa amarū bil-ma‘rūfi wa nahau ‘anil-munkar.

“(Yaitu) orang-orang yang jika Kami berikan kekuasaan di bumi, mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, memerintahkan kebaikan, dan mencegah dari kemungkaran.”

Ayat ini menegaskan bahwa kepemimpinan bukan sekedar jabatan, melainkan amanah untuk menegakkan kebaikan dan mencegah kerusakan.

Kebaikan dalam konteks negara bukan hanya ritual ibadah, tetapi memastikan perlindungan atas hak rakyat, menjaga lingkungan, dan mencegah perusakan bumi. Kemungkaran dalam ayat ini dapat dipahami sebagai segala bentuk tindakan yang menimbulkan kerusakan, penindasan, dan merugikan kehidupan masyarakat termasuk pembiaran terhadap praktik eksploitasi hutan yang menimbulkan bencana ekologis dan kehancuran kehidupan sosial.

Tanggung jawab tata kelola kehutanan berada secara langsung pada Menteri Kehutanan, yang saat ini dijabat Raja Juli Antoni (Kabinet Prabowo–Gibran sejak 2024). Sejumlah pengamat lingkungan menilai penanganan kehutanan dalam beberapa bulan terakhir menunjukkan lemahnya kapasitas teknis di tingkat kementerian, sehingga memunculkan persepsi publik bahwa Raja Juli belum menunjukkan kompetensi memadai dalam sektor kehutanan. Kritik ini semakin kuat mengingat pada Pilpres 2019 lalu, ia pernah melontarkan serangan politik keras terhadap Prabowo Subianto. Kini, setelah berada dalam kabinet Prabowo dan sering menyampaikan apresiasi, perubahan sikap tersebut dipandang belum mencerminkan konsistensi, sehingga memunculkan pertanyaan publik mengenai integritas kepemimpinan kehutanan saat ini.

Harapan masyarakat sangat jelas, Presiden Prabowo diharapkan mengambil langkah tegas terhadap penyimpangan tata kelola, demi mencegah korban jiwa, kerugian material, serta kehancuran ekologis jangka panjang. Bila dalam pemeriksaan ditemukan kelalaian atau pelanggaran administratif, evaluasi menyeluruh hingga pemberhentian menteri dan proses hukum patut dipertimbangkan. Secara hirarkis tanggung jawab puncak tetap berada pada Presiden Prabowo Subianto, namun agar persoalan tidak diarahkan secara politis kepada Presiden, penegasan sikap terhadap Menteri Kehutanan menjadi bentuk tanggung jawab pemerintahan di hadapan publik.

Konteks ayat tadi menegaskan bahwa pemimpin yang diberi kekuasaan wajib menegakkan kemaslahatan, bukan sekadar memenuhi legalitas administratif. Bila fungsi hutan di hulu DAS rusak akibat penebangan besar, maka risiko banjir bandang dan longsor seperti yang terjadi di Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Aceh adalah bagian dari “konsekuensi kemungkaran ekologis”. Ayat ini secara implisit menegur bahwa amanah kekuasaan harus mengarahkan kebijakan pada pencegahan kerusakan bumi, karena menjaga lingkungan berarti menjaga kehidupan manusia sebagai kehormatan ciptaan Allah.

Dengan demikian, legalitas tidak identik dengan keberlanjutan. Kasus kayu hanyut di Lampung memperlihatkan benturan kepentingan antara industri dan kelestarian lingkungan.

Pemeriksaan administratif saja tidak cukup jika tidak disertai sikap kepemimpinan yang sejalan dengan prinsip keadilan, kebaikan, dan pencegahan kerusakan sebagaimana diperintahkan Allah SWT dalam QS Al-Hajj ayat 41.

Pemimpin yang amanah seharusnya memastikan bahwa negara hadir ditengah warga korban, memastikan psikologis masyarakat dan keadaan dapat dikendalikan, mencegah kerusakan, bukan membiarkan eksploitasi yang menimbulkan bencana dan penderitaan rakyat. Kepercayaan dan harapan rakyat kepada pemimpin adalah hal terpenting, sehingga kehadiran pemimpin ditengah warga dapat dimaknai sebagai hadirnya negara. Tanpa bermaksud mendikte, bahwa menunda agenda presiden keluar negeri saat ini adalah langkah bijak ditengah penderitaan dan harapan warga korban akan hadirnya negara yang peduli terhadap warganya, yang selama ini sebagian mereka rasakan tanah air kelahirannya terasa dingin. Bukan hanya bantuan, obat, sembako, selimut yang diharapkan, akan tetapi kehangatan rakyat dan para pemimpinnya.

Doktoral Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam & Lingkungan Hidup Lulus Tahun 2004, Institut Pertanian Bogor (IPB).

Sumber:
Prof . Dr .Eggi Sudjana

Ervinna

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *