Masjid Terbakar, Pegawai Disingkirkan, Jakarta Islamic Centre di Persimpangan Jalan?

Berita38 Dilihat

DetikSR.id Jakarta – Sebulan lagi genap tiga tahun Masjid Raya Pusat Pengkajian dan Pengembangan Islam Jakarta (PPIJ) yang akrab dengan sebutan Jakarta Islamic Centre (JIC), tidak dapat difungsikan seperti sebelumnya. Rabu, 19 Oktober 2022 silam atau hanya dua hari setelah serah terima kepemimpinan DKI Jakarta dari Anies Baswedan kepada Pj Gubernur Heru Budi Hartono kubah masjid ini terbakar hebat dan akhirnya runtuh.

Selama tiga tahun ini, ibadah shalat fardhu, shalat Jumat, shalat Ied, dan kegiatan-kegiatan pengajian maupun insidental lainnya dilakukan di Convention Hall. Pj Gubernur pernah datang, perwakilan Arab Saudi pernah meninjau, Wagub Rano dan Gubernur Pramono juga sudah melihat kondisi di lapangan, tetapi hingga saat ini belum ada tanda-tanda Masjid itu akan direnovasi atau bahkan dibangun kembali.

JIC dibangun di era Gubernur Sutiyoso di atas lahan bekas lahan lokalisasi terbesar di Asia Tenggara, Kramat Tunggak, Koja, Jakarta Utara. Karena itulah Bang Yos menyebut tempat tersebut dengan istilah “dari haram jadah menjadi sajadah.”

Visinya mulia, menjadi pusat peradaban Islam. Misinya ada dua, mewujudkan Pusat Pengembangan Sumberdaya Muslim, Pengkajian, Data dan Informasi serta Budaya Islam di Jakarta yang bertaraf Internasional, dan Mewujudkan Pusat Pengembangan Islam Jakarta sebagai _landmark_ dengan sosok fisik yang monumental, bernuansa Islami dimana masjid sebagai sentrumnya.

Cuma pertanyaannya, jika peradaban Islam itu menjadikan masjid sebagai pusat (sentrum)-nya, maka ketika masjid JIC saja hingga kini tidak dapat difungsikan, lalu bagaimana misi itu akan dapat dilaksanakan?

**Peradaban: Adil dan Moderat**

Itu satu hal. Hal lain adalah sebagai lembaga yang bervisi menjadi pusat peradaban Islam, tentu saja aktivitas kegiatan dan tata kelola organisasi JIC semua didasarkan sesuai dengan Islam. Dengan cara-cara yang beradab. Dan namanya pusat peradaban tentu saja harus mampu menghimpun keragaman dan perbedaan. Membangun peradaban bukanlah menghimpun persamaan saja. Sehingga jangan sampai membangun peradaban justru dilakukan dengan cara-cara yang kurang beradab.

Seorang cendekiawan Mesir, Prof. Dr. Raghib As-Sirjani, dalam bukunya “Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia”, menulis karakterisik peradaban Islam itu ada empat: universalitas, tauhid, adil dan moderat, serta sentuhan akhlak.

Pada poin adil dan moderat, As-Sirjani menulis, keadilan dan moderat _(wasathan)_ merupakan karakteristik yang unggul dalam peradaban Islam, yakni moderat dan adil antara dua sudut yang saling berhadap-hadapan atau saling bertentangan. Tidak boleh cenderung kepada salah satu keduanya dengan suatu pengaruh dan menusuk pihak berlawanan, agar tidak mengambil salah satu dari dua belah pihak lebih dari haknya, berbuat zalim kepada lawan, dan berbuat culas kepadanya.

“Itulah yang dimaksud dengan seimbang _(tawazun)_ dan adil yang melekat dalam risalah Islam yang kekal, yang datang untuk memperluas sudut-sudut bumi dan perputaran zaman,” tulis As-Sirjani.

**Pemimpin Tak Boleh Sewenang-wenang**

Pada 2 Mei 2025 lalu, Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung melantik Pengurus PPIJ Periode 2025-2027. KH Muhyiddin Ishaq, seorang ulama, kiai, pimpinan pondok pesantren sekaligus Rais Syuriah PWNU DKI Jakarta diangkat sebagai Kepala PPIJ.

Selama empat bulan menjadi pemimpin di JIC, belum terdengar terobosan-terobosan besar yang hendak dilakukan oleh Kepala JIC yang baru ini. Kegiatan-kegiatan masih bersifat rutinitas seperti periode sebelumnya. Nasib masjid juga belum jelas.

Tapi justru ada satu kebijakan kontroversial yang dilakukan Kepala JIC saat ini, yakni memberhentikan paksa salah satu pegawai tetapnya dengan cara yang tidak prosedural alias secara sepihak.

Paimun namanya. Nama paspornya adalah Paimun Abdul Karim. Abdul Karim adalah nama orang tuanya. Tidak ada kaitan dengan Karim-Karim yang lain. Paimun adalah pegawai tetap JIC sejak 1 Juli 2004 silam yang diangkat berdasarkan SK No. 006 tahun 2004 dengan jabatan Staf Senior Bidang Informasi dan Komunikasi. Saat diberhentikan paksa, jabatan Paimun adalah Kasubdiv Informasi dan Komunikasi.

Paimun mengaku, pada 11 September 2025 lalu menerima SK Pemberhentian sebagai pegawai JIC. Merasa tidak melakukan kesalahan dan pelanggaran terhadap aturan dan prosedur di lembaga, tentu saja Paimun menolak PHK sepihak tersebut. Ia menyebut SK pemberhentian dirinya itu cacat administrasi dan prosedural.

Ada 10 alasan yang membuat ia berkesimpulan seperti itu. Apalagi selama 21 tahun bekerja, Paimun merasa telah mengabdi dengan penuh integritas dan profesionalisme. Karena itu pada 15 September lalu ia melayangkan surat mengajukan keberatan atas SK tersebut dengan tiga alasan utama: (1) SK cacat administrasi, substansi, dan redaksional. (2) Tidak dilakukan sesuai asas keadilan dan kepastian hukum. (3) dilakukan sepihak tanpa prosedur yang sah.

Kuasa hukum Paimun, Zulfiqar, menilai tindakan Kepala JIC itu sebagai perilaku sewenang-wenang. Menurutnya, pemimpin memang punya wewenang, namun tidak boleh sewenang-wenang.

**JIC Milik Masyarakat**

Saya mencoba mencari tahu apa alasan utama di balik pemecatan Paimun itu. Sebab jika tidak ada alasan yang prosedural terkait organisasi dan kinerja, tentu ada alasan lainnya.

Saya menduga, pemecatan ini dilakukan oleh Kepala JIC karena “tekadnya” untuk menyingkirkan individu-individu yang tidak sesuai dengan diri dan kelompoknya. Dugaan saya ini, berdasarkan dua hal.

Pertama, laporan seorang jurnalis yang meliput di Balai Kota Jakarta saat pelantikan Pengurus JIC pada 2 Mei 2025. Saat itu, dalam perbincangannya Kiai Muhyiddin terang-terangan mengatakan akan membersihkan JIC dari unsur organisasi tertentu, saat itu ia menyebut HTI.

Kedua, video yang telah beredar luas dalam sebuah acara yang digelar Syuriah PWNU DKI Jakarta, Kiai Muhyiddin menginstruksikan agar PWNU DKI bersih dari orang-orang yang diduga terafiliasi dengan dua organisasi, yakni PKS dan HTI.

Jika dugaan saya itu benar, untuk PWNU DKI, tekad dan keinginan Kiai Muhyiddin itu tidak salah. Itu sah secara organisasi. Namun, jika tekad itu diterapkan di JIC yang merupakan lembaga di bawah Pemprov DKI Jakarta, tentu saja itu menjadi masalah. Sebab JIC adalah institusi publik, milik masyarakat DKI Jakarta secara umum bukan hanya milik satu atau dua ormas saja.

**Ulama: Adil dan Bijak**

Meskipun saya menduga motif pemecatan Paimun adalah karena perbedaan organisasi kemasyarakatan, namun hingga detik ini saya mencoba untuk tidak percaya hal itu benar-benar dilakukan oleh Kepala JIC. Apalagi misalnya sampai mengatakan bahwa era sekarang adalah kepemimpinan dia, yang bisa menjalankan roda organisasi JIC tanpa seorang Paimun, merasa tidak kenal sehingga tidak ada beban untuk memecatnya, tentu hal itu belum bisa membuat saya percaya. Apa iya seorang kiai, ulama, bersikap begitu?

Sekali lagi, saya tetap _khusnuzan_ dan berharap bukan itu faktor utamanya. Sebab jika iya, (mohon maaf) alangkah naif, ngawur dan zalimnya. Saya tidak percaya seorang ulama, yang juga pimpinan tertinggi ormas Islam di DKI Jakarta melakukan hal tersebut. Sebab seorang ulama semestinya bijak, hati-hati, jauh dari kebencian terhadap sesama, tidak ngawur, apalagi zalim.

Ciri utama seorang ulama adalah bertakwa kepada Allah SWT. Ia adalah makhluk berilmu yang sangat takut kepada Allah. Sementara puncak ilmu adalah rasa takut _(khasyyah)_ kepada Allah, yang melahirkan sikap hati-hati dan bertanggung jawab.

Dengan ilmunya, ulama juga akan sangat paham adanya larangan bagi umat Islam untuk bersikap tidak adil karena kebencian terhadap suatu kaum dan menekankan pentingnya menjunjung tinggi keadilan karena itu lebih dekat kepada takwa.

Ketika menafsirkan Surat Al Maidah ayat 8, Imam Jalalain mengatakan: (Berlaku adillah kamu) baik terhadap lawan maupun terhadap kawan (karena hal itu) artinya keadilan itu (lebih dekat kepada ketakwaan. _Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq._
(Ervinna)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *