Money Politik Menciptakan Lingkaran Setan Menuju Kehancuran Suatu Bangsa

Berita79 Dilihat

Oleh Yus Dharman,SH.,MM ,M.Kn Advokat/Ketua Dewan Pengawas FAPRI (Forum Advokat & Pengacara Republik Indonesia)

DetikSR.id Jakarta 2 Oktober 2025 – Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), terutama dalam Pasal 1 ayat (2) yang menegaskan bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.

Oleh sebab itu sejak Gus Dur terpilih sebagai presiden RI ke 4 (empat) pada era Reformasi tahun 1998, untuk mengurangi kekuasaan otoriter presiden seperti di masa Orde Baru, Presiden Gus Dur me reformasi banyak hal, yaitu kebebasan pers, otonomi daerah, unjuk rasa di izinkan, kebebasan beragama, dsb, layaknya Demokrasi dengan sistem Presidensial pada Negara modern.

Begitupun pemisahan kekuasaan nya sangat jelas, Eksekutif, Legislatif. dan Yudikatif sebagai checks & Balances

Namun sayang nya, Negara gagal dalam memperhatikan, membiayai, membina serta merawat Partai Politik sebagai pilar demokrasi, Partai Politik dibiarkan dan diabaikan mengurus diri nya sendiri, padahal partai politik adalah tempat lahirnya pemimpin-pemimpin penyelenggara pemerintahan, begitupun UU Pemilu nya tidak cukup progresif bila dibandingkan dengan UU Pilkada yang bisa menjerat secara hukum pelaku money politik baik penerima maupun pemberi, akibatnya Kerangka hukum UU Pemilu tidak cukup mendukung untuk terwujudnya penegakan hukum pemilu, lebih-lebih Regulasi penyelenggaraan pemilu didominasi oleh para pembuat kebijakan yang sekaligus merupakan peserta pemilu.

Demikian pula alokasi bantuan dana politik dari APBN kepada partai politik sangat tidak memadai hanya sebesar Rp1.000 per satu suara, Ibarat seorang perempuan, harus nya partai politik dibina, dijaga, dibiayai dan dirawat kesucian kehormatan nya agar kelak lahir bayi suci dan terhormat, yang bisa menjadi pemimpin mulia dan terpercaya, bukan diabaikan, akhirnya melakukan pergaulan bebas untuk survive.

lihat faktanya sekarang, para pimpinan Partai Politik harus berjibaku dalam mencari pendanaan dengan segala cara tidak peduli halal atau haram, guna menggerakkan roda organisasi yang dipimpin nya agar survive.

Walhasil, sumber yang paling mudah untuk mendapatkan uang adalah rekrut kader-kader yang mau  diusung sebagai pejabat, untuk bayar, meskipun tanpa rekam jejak yang jelas dari kader-kader tersebut.

Mari kita ikuti sequence transaksional (money politik) kandidat yang ingin diusung partai politik tertentu sampai akhirnya menjadi pejabat,

Tahapan pertama yang harus dilakukan adalah, mendaftarkan diri melalui jalur pencalonan partai, kemudian Partai melakukan seleksi kandidat secara formalitas, selanjutnya Kandidat harus menyetor mahar politik” ke partai/elit tertentu agar mendapat rekomendasi atau nomor urut strategis di daftar caleg, Mahar bisa berupa uang tunai, komitmen proyek, atau dukungan logistik.

Setelah resmi dicalonkan, kandidat butuh dukungan rakyat/konstituen untuk memilihnya yang sudah tentu tidak gratis, ada ongkosnya, bisa berupa amplop berisi uang, sembako, kaos, barang konsumtif, dsb Sambil mengumbar janji janji surga, jika kelak terpilih akan memperbaiki fasilitas infrastruktur di dapil tempat konstituen pemilih, seperti jalan, listrik, irigasi, angkutan umum, kesehatan gratis, pendidikan gratis, dsb.

Dana kampanye bisa dari berbagai sumber, Bagi kandidat kaya raya, tidak masalah pake uang sendiri, bagaimana dengan kandidat yg kurang kaya? Tentu harus cari sponsor/oligarki (bohir) dengan kesepakatan, perjanjian balas jasa bila kandidat menang.

Tahap berikutnya, untuk serangan fajar pada injury time di hari pencoblosan, kandidat perlu uang besar lagi, yang akan dipakai  membeli suara pemilih secara langsung yaitu, membayar saksi TPS.

Mengamankan suara lewat oknum KPUD/KPU, aparatur desa, Parcok, dsb. Jika berhasil terpilih, kandidat resmi dilantik sebagai pejabat legislatif atau eksekutif, ybs harus melunasi Utang Politik, kepada bohir dengan mempermudah akses proyek, konsesi tambang, konsesi hutan, kebun sawit, exploitasi laut, izin reklamasi, dsb. Selanjutnya harus setor dana secara berkala ke kas partai, atau meloloskan kebijakan tertentu dengan proyek aspirasi, dana bansos, atau bentuk gratifikasi lain.

Begitulah pola money politik bekerja  sejak dari awal mendaftar partai politik sebagai caleg, Cagub dan Cabup, sampai terpilih, membentuk lingkaran setan.

Mungkinkah ketika menjabat, sang pejabat benar-benar berpihak pada kepentingan rakyat banyak ?

Selanjutnya sang Pejabat harus mengumpulkan uang banyak lagi guna dipakai untuk keperluan bayar utang politik, mempertahankan kekuasaan dan untuk maju ke jabatan yang lebih tinggi pada Pemilu berikutnya.

Jika hal tersebut seperti yang saya ceritakan diatas tidak di segera di reformasi, kehancuran sudah di depan mata.(*/Red)

Sumber Yus Dharman,SH.,MM ,M.Kn Advokat/Ketua Dewan Pengawas FAPRI (Forum Advokat & Pengacara Republik Indonesia)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *