OVERLAPING REGULATION DI INDONESIA

Berita25 Dilihat

Oleh Yus Dharman,SH.,MM ,M.Kn
Advokat/Ketua Dewan Pengawas FAPRI (Forum Advokat & Pengacara Republik Indonesia)

DetikSR.id Jakarta, 4 Juli 2025 – Penyebab lemah nya penegakan hukum di Indonesia , salah satu nya adalah karena Proses legislasi yang tidak terkoordinasi dengan baik antar lembaga. Perbedaan tafsir antar instansi dalam menyusun norma hukum.

Kepentingan politik praktis para politisi atau pesanan, demi kepentingan Bohir secara sektoral, membuat masing-masing lembaga ingin mengatur bidang tertentu, akibatnya Undang-Undang menjadi tumpang tindih (overlapping regulations)

Secara Akademik hal tersebut tentu tidak dapat dibenarkan, karena bertentangan dengan hirarki Undang-undang yaitu asas-asas pembentukan peraturan dan perundang-undangan, yang mengharuskan hukum dapat dipahami dan ditegakkan secara konsisten agar ada kepastian hukum, Asas keterpaduan dan keselarasan, yang menuntut agar suatu peraturan tidak bertentangan atau berulang dengan peraturan lain, yang dapat menimbulkan ketidak pastian hukum.

Akan tetapi dalam iklim politik praktis saat ini, yang di isi oleh para pengusaha yang merangkap menjadi penguasa, overlaping regulation ditoleransi agar ada celah hukum yang dapat di mainkan denga tujuan bisnis meskipun hanya sementara waktu, sampai dilakukan harmonisasi atau revisi peraturan, hal ini merupakan masalah serius yang menghambat kepastian hukum, serta menciptakan konflik kepentingan, dan membuka celah penyalah gunaan wewenang.

Contoh undang-undang dan peraturan yang tumpang tindih, adalah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba dan Pertambangan Versus
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH)

Bahwa dulu, Izin lingkungan merupakan bagian dari syarat perizinan pertambangan, namun setelah Undang-Undang Minerba direvisi dan digabung dalam sistem perizinan berusaha (OSS), peran izin lingkungan menjadi abu-abu.

Kemudian tiga Undang-Undang yang saling bertentangan yaitu Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan versus Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 ttg Pemerintahan Daerah versus Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba dan Pertambangan

Merujuk pasal 14 UU No 23 thn 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Pemerintah pusat mengambil alih kewenangan pengelolaan pertambangan dari daerah, pelimpahan ini bertentangan dengan semangat otonomi daerah sehingga menyebabkan kebingungan antara penguasa pusat dengan provinsi dan kabupaten/kota.

Pertentangan selanjutnya antara Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria (UUPA) dengan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan meliputi Penguasaan dan Pemanfaatan Sumber Daya Alam, UUPA mengatur tentang asas dan ketentuan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan sumber daya agraria nasional di Indonesia, termasuk bumi, air, dan ruang angkasa. Sementara itu, Undang-Undang Kehutanan lebih fokus pada pengelolaan dan pemanfaatan hutan.

UUPA mengakui hak ulayat dan hak masyarakat adat atas tanah dan sumber daya alam. Namun, Undang-Undang Kehutanan memiliki ketentuan yang berbeda terkait pengelolaan hutan dan hak masyarakat adat.

Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah, dalam UUPA dan Undang-Undang Kehutanan memiliki ketentuan yang berbeda terkait dalam pengelolaan sumber daya alam dan hutan. Sehingga dalam implementasinya sering menimbulkan konflik, terutama mengenai pengakuan hak masyarakat adat dan pengelolaan sumber daya alam sehingga perlu dilakukan harmonisasi dan sinkronisasi segera antara kedua undang-undang tersebut untuk memastikan pengelolaan sumber daya alam yang adil dan berkelanjutan.

Perizinan tambang tumpang tindih dengan kawasan hutan atau lahan pertanian pangan berkelanjutan. Dikarenakan hutan adat atau tanah ulayat sering diklaim sebagai kawasan hutan negara oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan/KLHK, bertentangan dengan hak masyarakat hukum adat berdasarkan UUPA.

UU No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan Versus UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Overlaping Kewenangan pengelolaan layanan kesehatan (rumah sakit, Puskesmas) antara pusat, provinsi, dan kabupaten, dampaknya membingungkan tanggung jawab anggaran dan pelayanan antara pusat dan daerah.

UU Otonomi Daerah bertabrakan dengan undang-undang sektoral (UU Energi, UU Kelautan, UU Pertanian, dll.)
Contoh nya Pemda ingin mengatur tata ruang dan perizinan, namun sektor tertentu (seperti migas, kehutanan, atau minerba) diatur langsung oleh pemerintah pusat, akibatnya melemahkan otonomi daerah.

UU No. 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perpu Cipta Kerja menjadi UU
Bertentangan dengan banyak UU sektoral yang masih mensyaratkan izin khusus

UU Cipta Kerja menyederhanakan izin melalui OSS, tapi banyak UU sektoral (seperti Lingkungan, Ketenagakerjaan, Pertambangan) masih mensyaratkan izin terpisah, menciptakan ketidakpastian hukum, Selayaknya segera lakukan harmonisasi peraturan oleh Kementerian Hukum dan BPHN.

Penyusunan Omnibus Law harus secara komprehensif dan transparan.
Segera lakukan Judicial Review terhadap pasal-pasal yang bertabrakan ke Mahkamah Konstitusi. Serta Penegasan kewenangan dalam peraturan pelaksana (PP/Permen).

Serta Penguatan peran DPR dan masyarakat dalam pengawasan legislasi.
Untuk mendukung political will pemerintahan Presiden Prabowo dalam penegakan hukum dan pemberantasan Korupsi, Semoga.(*/Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *