Partai UKM Indonesia: Putusan MK Terkait Pemisahan Pemilu Nasional dan Daerah, Bersifat Final dan Mengikat

Berita26 Dilihat

DetikSR.id Jakarta – Ketua Umum Partai UKM Indonesia Syafrudin Budiman, SIP menyatakan mendukung keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) dan UU Nomor 10 Tahun 2016, tentang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada). Dimana diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).

Diketahui Putusan MK No. 135/PUU-XXII/2024 yang dibacakan pada Kamis, 26 Juni 2025, Mahkamah memutuskan penyelenggaraan pemilu di tingkat nasional, harus dilakukan terpisah dengan penyelenggaraan pemilu tingkat daerah atau kota (pemilu lokal).

Kata Syafrudin Budiman, MK telah memutuskan pemilu lokal diselenggarakan paling singkat 2 tahun atau paling lama 2,5 tahun setelah pemilu nasional. Sehingga, putusan itu, pemilu serentak yang selama ini dikenal sebagai “Pemilu 5 kotak” tidak lagi berlaku untuk Pemilu 2029.

“Kami Partai UKM Indonesia mendukung Putusan MK No. 135/PUU-XXII/2024 tentang pemisahan pemilu nasional dan pemilu daerah/lokal. Keputusan itu bersifat final dan mengikat yang harus diikuti semua pihak, baik pemerintah dan DPR RI,” kata Gus Din sapaan akrab Ketua Umum Partai UKM Indonesia dalam rilisnya, Rabu (9/7/2025) di Jakarta.

Menurut Kordinator Nasional Aliansi Relawan Prabowo Gibran (Kornas ARPG), ketentuan keserentakan tersebut, untuk mewujudkan pemilu berkualitas, serta memperhitungkan kemudahan dan kesederhanaan bagi pemilih. Terutama dalam melaksanakan hak memilih sebagai wujud pelaksanaan kedaulatan rakyat.

“Kalau pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, DPR RI dan DPD dimasukkan dalam satu paket pemilu nasional sudah benar. Sementara pemilihan Gubernur, Bupati/Walikota, DPR Propinsi dan DPRD masuk satu paket pemilu daerah/lokal sudah tepat. Tinggal bagaimana pemerintah dan DPR RI bisa mengatur teknis jadwal penyelenggaraannya dengan benar,” terang Gus Din.

Dirinya menjelaskan, keputusan MK tersebut bukan sebagai bentuk pembangkangan terhadap konstitusi dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat agar melahirkan pemilu berkualitas.

Gus Din menilai pemisahan pemilu yang menyebabkan pelaksanaan melewati batas waktu lima tahun, tidak bertentangan dengan ketentuan konstitusi, khususnya Pasal 22E ayat (1) UUD 1945. yang menyatakan bahwa pemilu harus digelar setiap lima tahun secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.

“Makna luber dan dilaksanakan lima tahun sekali, sudah sesuai pelaksanaan kejadian pemilu. Sebab tetap dilaksanakan serentak dan teragenda lima tahun sekali, hanya saja waktunya pelaksanaannya yang berbeda. Jadi tidak bertentangan dengan UUD 1945,” katanya.

Apalagi kata Gus Din, pemisahan pemilu yang tidak melewati masa 5 tahun dan hanya disesuaikan jadwalnya saja. Sehingga putusan ini tidak bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 dan putusan MK bentuk pembangkangan terhadap konstitusi.

“Dahulu DPR RI pernah merubah UU Pilkada tentang pemilihan kepala daerah Gubernur dan Bupati/Walikota. Sehingga ada penyesuaian secara serentak dan hari ini pemilu nasional dan pemilu daerah/loka bisa disesuaikan jadwal agendanya,” ujarnya.

Kata Pengurus Pusat Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin Indonesia) ini, MK tidak melampaui kewenangan yuridisnya, karena perkara yang diajukan juga tidak masuk dalam wilayah open legal policy yang diajukan Purludem. Untuk itu pemerintah dan DPR RI tinggal membuat revisi UU pemilu dan UU pilkada yang menyesuaikan dengan Putusan MK.

“Mengacu sesuai Putusan MK Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008, memang secara tegas menyatakan MK tidak boleh membatalkan norma hukum yang merupakan bagian dari kebijakan hukum terbuka. Akan tetapi Putusan MK soal pemisahan pemilu tidak masuk dalam ruang open legal policy, karena teknis aturannya diserahkan ke pemerintah dan DPR RI,” tukas Gus Din.

Gus Din juga menambahkan bahwa, MK tidak mengingkari prinsip judicial restraint dan tidak terjebak dalam positive legislator. Dimana MK sebagai pengambil keputusan tertinggi tidak ikut menciptakan norma hukum baru.

“Saya tegaskan bahwa, norma hukum baru tetap tergantung pemerintah dan DPR RI sebagai pembuat UU. Oleh karena itu pengambil kebijakan bisa menjalankan putusan MK dan membuat aturan UU pemilu yang disesuaikan,” ucapnya.

Menurut Gus Din, dalil-dalil empiris yang diajukan pemohon, seperti melemahnya kualitas kedaulatan rakyat dan pelembagaan partai politik adalah isu konstitusionalitas norma. Yang mana soal implementasi kebijakan tetap berada dalam ranah pemerintah dan DPR RI sebagai wakil negara.

“Dalil pemohon telah menunjukkan kerugian konstitusional secara jelas. Sehingga ketika pemilu dipisah akan bisa memperbaiki keadaan. Jelas ini juga sangat positif pada perkembangan demokrasi Indonesia di masa mendatang,” ungkapnya.

Gus Din juga menyesalkan, banyak Fraksi-Fraksi DPR RI menyatakan menolak Putusan MK ini. Seharusnya, DPR RI bersama Pemerintah fokus bagaimana melakukan revisi UU Pemilu dan Pilkada menjadi satu paket pemilihan umum yang terbuka dan berkualitas.

“Pemisahan pemilu nasional dan daerah/lokal harus segera dibuat aturan oleh DPR RI bersama Pemerintah. Putusan MK ini sudah bersifat final dan mengikat yang harus diikuti semua pihak,” pungkas Gus Din. (red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *