QUO VADIS RECHT STAAT

Berita22 Dilihat

Oleh Yus Dharman,SH.,MM ,M.Kn
Advokat/Ketua Dewan Pengawas FAPRI (Forum Advokat & Pengacara Republik Indonesia)

DetikSR.id Jakarta 8 Agustus 2025 Pada hari jumat 1 Agustus 2025 Presiden Prabowo menandatangani keputusan presiden tentang pemberian Amnesti kepada Hasto dan abolisi kepada Tom Lembong,

Meskipun amnesti dan abolisi merupakan kewenangan konstitusional Presiden yang diatur dalam Pasal 14 ayat (2) UUD 1945: “Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.”
Namun pemberian abolisi dan grasi tersebut, dirasa tergesa-gesa, karena proses hukum kedua terdakwa tersebut masih berlangsung, belum mempunyai kekuatan hukum tetap (ingkracht),

Harus nya jika Presiden menganggap ada kriminalisasi dalam kedua kasus tersebut, ia bisa mendorong Jaksa Agung mengeluarkan deponering, yaitu hak khusus yang dimiliki oleh Jaksa Agung untuk mengesampingkan perkara pidana demi kepentingan umum sebelum kasus ingkracht. Seperti yang pernah diberlakukan oleh Jaksa Agung sebelumnya kepada mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, Abraham Samad dan Bambang Widjojanto serta Bibit Samad Riyanto dan Chandra Hamzah. yang saat itu dikenal dengan istilah “Cicak versus Buaya”.

pemberian abolisi dan amnesti tersebut kental nuansa politik nya, yang di akui oleh Menteri Hukum Supratman Andi Agtas. Selain itu, intervensi ini mengingkari prinsip checks and balances antara lembaga eksekutif dan yudikatif dalam sistem demokrasi.

Diharapkan ke depan nya proses politik tidak mengintervensi proses hukum. Apalagi Pemberian abolisi dan amnesti kepada koruptor, tidak sejalan dengan semangat pemberantasan korupsi yang telah disepakati bersama oleh Mahkamah Konstitusi dan United Nations Convention Against Corruption/UNCAC, atau dalam bahasa Indonesia, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, yaitu perjanjian multilateral yang mengikat secara hukum bertujuan untuk mencegah dan memberantas korupsi di seluruh dunia termasuk Indonesia notabene diungkapkan juga oleh presiden Prabowo dalam pidato pertamanya setelah dilantik sebagai Presiden Indonesia periode 2024-2029, yang menekankan pentingnya memberantas korupsi dari akarnya.

Sungguh Paradox memang, dapat menjadi preseden buruk, dampaknya bisa menjadi celah impunitas bagi pelaku korupsi lainnya.

Sejak Indonesia Merdeka, abolisi dan amnesti diberikan kepada tahanan politik, tidak ada catatan resmi tentang pemberian abolisi & Amnesti kepada terpidana korupsi oleh Presiden-Presiden Indonesia sebelumnya.

Harus nya bila merujuk beberapa pemikir abad pertengahan dan teori yang sangat menekankan prinsip independensi hukum dari kekuasaan politik dalam Negara modern,
Seperti :
1. Montesquieu dalam buku nya trias Politica, teori pemisahan kekuasaan, hukum tidak boleh diintervensi untuk kepentingan politik adalah bagian dari pemikiran dasar dalam negara hukum (rechtsstaat / rule of law)
Montesquieu dalam karya nya yang lain, yaitu ; “L’Esprit des Lois” (The Spirit of the Laws) (1748), menegaskan: “There is no liberty, if the judiciary power be not separated from the legislative and executive.”
Maksud dan tujuan nya untuk menghindari kekuasaan yang absolut, dalam kerangka ini, lembaga yudikatif (pengadilan/hukum) harus bebas dari intervensi legislatif dan eksekutif, termasuk kepentingan politik.
Inilah akar dari independensi kekuasaan Kehakiman dan menjadi tema besar dalam filsafat hukum, teori negara, dan teori demokrasi modern.

2. A.V. Dicey – Rule of Law (Inggris)
Dalam bukunya “Introduction to the Study of the Law of the Constitution” (1885), Dicey menyebutkan 3 (tiga) prinsip Rule of Law, salah satunya: Equality before the law: semua orang tunduk pada hukum, termasuk penguasa. Hukum tidak tunduk pada kehendak politik atau otoritas pribadi.
Politik tidak boleh menyentuh atau mengatur hasil hukum, termasuk proses peradilan.

3. Hans Kelsen – Teori Hukum Murni (Reine Rechtslehre)
Hukum harus dianalisis secara murni, terlepas dari faktor politik, sosiologi, dan ideologi. Kelsen menolak pencampuran hukum dengan kekuasaan politik.
Bagi Kelsen, sistem hukum harus berdiri sendiri sebagai sistem normatif yang otonom.

4. Immanuel Kant – Negara Hukum dan Kebebasan Yudisial
Kant mengembangkan gagasan tentang Rechtsstaat: negara yang dibatasi oleh hukum demi kebebasan dan keadilan.
Negara tidak boleh memanipulasi hukum untuk kepentingan politik penguasa. Hukum harus dijalankan oleh lembaga yang bebas dari tekanan politis.

5. Utrecht & Jimly Asshiddiqie (dalam konteks Indonesia)
Menurut Prof. Utrecht: Negara hukum harus menjamin perlindungan hukum yang objektif dan tidak berpihak.
Begitupun pendapat Prof. Jimly Asshiddiqie: yang mengatakan bahwa dalam “Peradilan Etik dan Etika Konstitusi”, Prof Jimly menekankan bahwa kekuasaan kehakiman harus merdeka dan tidak tunduk pada pengaruh kekuasaan manapun, termasuk eksekutif/politik.

Menyikapi dan mencermati pendapat para ahli tersebut di atas, seringkali terabaikan oleh aparat penegak hukum (APH). Sehingga lahirnya Keppres tersebut cenderung mengarah kebijakan politik, sehingga keputusannya tersebut berpotensi mengarah pada oligarki politik dgn demikian akan mempersempit ruang kontrol publik terhadap pemerintah. Harusnya kebijakan pengampunan tetap berpijak pada prinsip keadilan, bukan konsolidasi kekuasaan. Kekuasaan yang tidak diawasi secara kritis berpotensi menimbulkan oligarki baru yang membahayakan masa depan demokrasi Indonesia,

jangan sampai kembali ke zaman dulu seperti di eropa, kita harus menentang “Divine Right of Kings (Hak Ilahi Raja), Raja berkuasa karena kehendak Tuhan, bukan kehendak rakyat atau hukum positif, Raja tidak bisa dipertanyakan atau dilawan, sebab dianggap “wakil Tuhan”.
Contoh: Raja Louis XIV (Prancis):
“L’État, c’est moi” — Negara adalah saya.

Jadikan pelajaran bahwa Prilaku otoriter Raja-Raja zaman dulu, meninggalkan peradaban gelap sejarah seperti yang pernah terjadi di Prancis, Inggris, Spanyol, dsb, pantang terulang kembali.

MERDEKA !

(*/Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *