Rencana Pemasangan Chattra Borobudur. Momentum Menegaskan kembalinya Esensi Jati Diri Situs sebagai Mahakarya Spiritualitas Nusantara

Budaya24 Dilihat

DetikSR.id Jakarta, Sumbangsih pemikiran esensi pengelolaan Borobudur 3 Desember 2025.
Graha Utama, Gedung A Lantai 3. Polemik seputar rencana pemasangan Chattra (payung suci) di puncak Candi Borobudur kembali mencuat dan memantik diskusi luas di berbagai kalangan, baik dari sisi spiritual, akademis, budaya, hingga tata kelola pariwisata dan pelestarian warisan dunia. Namun di balik perdebatan yang tampak sebagai tarik ulur antara nilai spiritual dan konservasi, sesungguhnya tersimpan persoalan yang jauh lebih fundamental: kegagalan dalam menghadirkan pengelolaan yang seimbang antara Ruh (spiritualitas) dan Raga (konservasi fisik) dari Mahakarya Budaya Dunia tersebut.

Rencana pemasangan Chattra tidak sekadar simbol keagamaan atau wacana rekonstruksi arkeologis, tetapi manifestasi dari tuntutan penyelarasan antara nilai sakral yang melatarbelakangi pendirian Borobudur dan praktik pengelolaan modern yang sering berfokus pada pemanfaatan ekonomi. Momentum ini menjadi titik kritis untuk merefleksikan kembali arah, visi, dan kesungguhan pengelola dalam menjaga keseimbangan tiga pilar utama warisan budaya: Pelestarian, Perlindungan, dan Pemanfaatan.
Chattra sebagai Tuntutan Penyatuan “Ruh dan Raga”

Isu Chattra harus dipahami bukan sebagai perdebatan simbolik, melainkan tuntutan dari masyarakat spiritual, budayawan, dan pemerhati warisan dunia agar pengelola menegaskan kembali komitmen dasar pengelolaan Borobudur.
1. Integritas Fisik (Raga)
Standar konservasi berkelanjutan menjadi syarat mutlak. Setiap keputusan termasuk pemasangan Chattra harus memastikan tidak mengancam keaslian struktur, material, dan warisan arkeologis candi. Borobudur sebagai Warisan Dunia UNESCO memiliki Outstanding Universal Value (OUV) yang wajib dijaga tanpa kompromi.

2. Integritas Spiritual dan Kultural (Ruh)

Sebagai mahakarya spiritual Nusantara, Borobudur tidak lahir dari konsep ekonomi, tetapi dari landasan spiritual dan filosofis yang mendalam. Integritas spiritual ini menuntut adanya ruang ritual, praktik kebudayaan, tradisi ruwatan, hingga makna religius yang selama ini kurang mendapat porsi dalam tata kelola modern.

Keseimbangan antara Ruh dan Raga bukan sekadar idealisme, tetapi keharusan untuk mengembalikan jati diri Borobudur sebagai living heritage situs yang hidup, bermakna, dan berfungsi bagi generasi kini dan mendatang.

Mekanisme Penyelarasan Interpretasi: Forum Konsensus Borobudur.
Untuk mengatasi keragaman interpretasi yang muncul dari berbagai pemangku kepentingan, diperlukan mekanisme penyelarasan interpretasi yang bersifat kelembagaan, profesional, dan berkelanjutan. Usulan ini mencakup pembentukan Forum Konsensus Borobudur atau Komite Khusus OUV, yang berfungsi sebagai ruang dialog dan penyelesaian kebijakan berbasis data, spiritualitas, dan konservasi.
Komponen forum yang wajib terlibat:
1. Perwakilan umat beragama dan kepercayaan
Sebagai pemilik nilai-nilai ritual, spiritual, dan sumber makna Borobudur.

2. Ahli warisan dunia dan konservasi
Menjamin setiap keputusan sesuai kaidah internasional UNESCO.

3. Budayawan dan masyarakat lokal
Termasuk pelaku tradisi Ruwat Rawat Borobudur dan pemangku filosofi Kiblat Papat Lima Pancer, yang berperan aktif menjaga ruh lokal Borobudur selama berabad-abad.

Tujuan utama forum ini adalah menghadirkan kesepahaman yang dihormati secara profesional dan spiritual terlepas dari keputusan final apakah Chattra dipasang atau tidak.

Tata Kelola Terpadu: Mengatasi Tumpang Tindih Kewenangan.
Salah satu akar persoalan pengelolaan Borobudur adalah tumpang tindih kewenangan antar lembaga. Dengan adanya Perpres No. 1 Tahun 2024, struktur pengelolaan sebenarnya telah memiliki dasar hukum. Namun regulasi tersebut belum memasukkan dimensi spiritual secara eksplisit sehingga menyisakan kesenjangan antara amanah konservasi dan realitas nilai dasar pendirian candi.

Diperlukan:
Harmonisasi regulasi antar lembaga pusat dan daerah.
Model tata kelola yang mengintegrasikan pelestarian, spiritualitas, dan partisipasi masyarakat.
Revisi model bisnis pariwisata yang tidak lagi economic-driven, tetapi preservation-driven dan spiritual inclusive

Transformasi Model Pariwisata: Dari Wisata Massal ke Wisata Spiritual. Borobudur telah lama menghadapi tekanan besar akibat pariwisata massal. Transformasi menuju Wisata Spiritual dan Edukatif merupakan langkah strategis yang tidak hanya menyelamatkan situs, tetapi juga mengembalikan fungsi filosofisnya.

Transformasi tersebut meliputi:
1. Peralihan dari wisata massa ke wisata berbasis pengalaman mendalam
Pengunjung diajak memahami filosofi Borobudur, bukan sekadar mengabadikan foto.

2. Penguatan peran pemandu ahli
Untuk memberikan narasi yang akurat, reflektif, dan memberi pengalaman spiritual.

3. Dialog lintas agama dan kepercayaan
Borobudur diposisikan sebagai ruang universal perjumpaan, bukan hanya objek wisata.

4. Pemerataan ekonomi bagi desa dan zona sekitar
Paket wisata terpadu mengajak wisatawan menjelajahi desa-desa di sekitar Borobudur sehingga manfaat ekonomi tidak terpusat pada monumen.

5. Partisipasi masyarakat lokal sebagai mitra utama
Pengelola (TWC dan lembaga terkait) wajib membuka ruang dialog yang terlembaga sebelum mengambil kebijakan besar.

Momentum Chattra: Evaluasi Besar Pengelolaan Borobudur
Isu Chattra bukan sekadar pemasangan artefak arsitektur; ia adalah cermin kegagalan dan peluang pembenahan besar-besaran. Ini saatnya pengelola melakukan lompatan paradigma:
Dari “seberapa banyak pengunjung” menuju “seberapa bermakna pengalaman”
Dari dominasi ekonomi menuju keseimbangan pelestarian

Dari birokrasi tertutup menuju tata kelola kolaboratif dan spiritual inclusive
Borobudur harus terus dipertahankan sebagai Mahakarya Dunia yang hidup (Ruh) sekaligus lestari (Raga).

Kesimpulan: Mengembalikan Hakikat Borobudur.
Masalah pemasangan Chattra pada dasarnya bukanlah persoalan teknis, tetapi persoalan filosofis dan tata kelola.

Dasar hukum sudah ada melalui Perpres No. 1 Tahun 2024.
Tetapi regulasi belum mencakup dimensi spiritual, padahal pendirian Borobudur lahir dari tujuan spiritual yang luhur.

Kesenjangan ini menuntut pembaruan visi pengelolaan, agar nilai-nilai dasar Borobudur tidak tenggelam oleh kepentingan ekonomi semata. Chattra hanyalah simbol.
Yang sesungguhnya dituntut masyarakat adalah penyatuan Ruh dan Raga dalam pengelolaan Borobudur untuk mengembalikan kesakralan, melestarikan warisan, dan memastikan monumen kebanggaan Nusantara ini tetap abadi bagi dunia.
Disarikan dan disempurnakan sebagai sumbangsih pemikiran untuk pelestarian Borobudur. Ervinna

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *