Oleh : Nadira Assyifa Putri Mahasiswa Program Studi S1 Hukum, Universitas Bangka Belitung
DetikSR.id Bangka Belitung dikenal kaya timah. Tapi, sudahkah kita menghitung harga sebenarnya? Harga yang tak tercermin di angka ekspor, tapi di tanah rusak, laut keruh, dan warga yang gelisah.Bangka Belitung,(5/12/2025).
Lubang tambang disebut peluang, air keruh dianggap wajar, deru mesin menenggelamkan suara keberatan warga. Setiap hektare tanah yang terkoyak menyimpan kisah nelayan kehilangan laut, petani kehilangan tanah, dan anak-anak kehilangan wajah alam yang dulu mereka warisi.
Industri timah memang menyumbang devisa. Ribuan keluarga hidup dari tambang resmi maupun rakyat. Namun hutan hilang, pesisir rusak, lubang raksasa menganga. Kerusakan ini tak bisa ditutup retorika kemajuan.
UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba mewajibkan setiap perusahaan pertambangan melakukan reklamasi dan pasca-tambang (Pasal 102–103). Sementara UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menegaskan setiap kegiatan industri wajib menjaga keseimbangan ekosistem (Pasal 12–13).
Tambang ilegal yang merajalela jelas melanggar UU Minerba Pasal 158, yang mengancam pidana bagi penambang tanpa izin. Begitu juga, pencemaran lingkungan akibat tambang bisa dijerat UU Lingkungan Hidup Pasal 69–70 tentang tanggung jawab dan sanksi pidana. Namun di lapangan, pengawasan kerap lemah, dan pelanggaran jarang ditindak tegas.
Pemerintah bicara hilirisasi dan nilai tambah, tapi perlindungan lingkungan dan keselamatan masyarakat sering terabaikan. Warga pun berada di dilema: tambang memberi penghasilan, tapi sekaligus merusak ruang hidup mereka sendiri.
Konflik sosial pun tak terhindarkan. Ketimpangan manfaat, minim ruang dialog, dan rasa takut membuat suara warga sering dibungkam. Sementara kepentingan besar bersembunyi di balik legalitas yang tampak rapi.
Sudah saatnya tata kelola pertambangan diperkuat. Izin dievaluasi berkala, pelanggaran ditindak tegas, dan operasi ilegal dihentikan. Transparansi rantai produksi dan distribusi wajib dibuka untuk publik agar kebijakan tak lagi berjalan dalam kabut kepentingan.
Diversifikasi ekonomi juga mendesak. Ketergantungan pada satu komoditas membuat daerah rapuh. Sektor alternatif seperti pariwisata, perikanan berkelanjutan, dan ekonomi kreatif bisa menjadi masa depan Bangka Belitung.
Kekayaan alam bukan sekadar nilai ekspor. Ia soal keberlanjutan, keadilan, dan keberanian menjaga sumber daya. Jika terus menutup mata, yang tersisa hanyalah tanah terengah, laut letih, dan masyarakat bertanya: “Berapa harga sebenarnya sebuah kekayaan?”
Penulis : Nadira Assyifa Putri.Mahasiswa Prgram.Studi SI Hukum,Universitas Bangka Belitung
Editor : AR






