Tanpa Keteladanan, Semua Akan Sia sia

Pendidikan14 Dilihat

Oleh Dr. Muslich Taman, Humas SMAN I Rumpin, Penulis Buku: Guru Sang Arsitek Masa Depan

DetikSR.id | Bogor – Di tengah derasnya arus modernisasi dan perubahan sosial, pemerintah Jawa Barat di bawah kepemimpinan KDM menghadirkan sebuah konsep pendidikan karakter yang berakar kuat pada kearifan lokal Sunda: Pendidikan Karakter Panca Waluya. Program ini bukan sekadar slogan, bukan pula sebatas nilai-nilai yang diajarkan secara teoritis —melainkan sebuah gerakan membentuk manusia seutuhnya melalui lima pilar utama: Cageur (sehat), Bageur (baik), Bener (benar), Pinter (cerdas), dan Singer (terampil).

Kelima nilai dasar tersebut bukan barang baru; ia telah lama hidup dalam budaya Sunda yang ramah, teduh, dan penuh etika. Yang baru adalah bagaimana kepemimpinan KDM berinovasi mengintegrasikan nilai-nilai tersebut secara sistematis ke dalam dunia pendidikan, sekolah, keluarga, dan masyarakat. Ada satu hal yang menjadi ruh utama dari keseluruhan konsep ini sebuah syarat mutlak yang tidak bisa ditawar: keteladanan.

Filosofi Panca Waluya bukan sekadar rumusan akademik. Ia adalah nilai-nilai hidup yang sehari-hari dicontohkan oleh orangtua ketika berbicara sopan, oleh guru saat mengajar dengan sabar, oleh warga ketika bergotong-royong, oleh pemimpin ketika menunjukkan sikap jujur dan adil, serta kebijakan yang selaras dengan janji kampanyenya. Pendidikan karakter Pancawaluya, mau seindah apa pun rumusannya, sehebat apa pun desain kurikulumnya, dan sesering apa pun IHT untuk mendiskusikannya —akan sia-sia dan runtuh seketika jika tiada keteladanan.

Keteladanan: harga mati dalam pendidikan karakter. Para pakar pendidikan sepakat bahwa yang paling berpengaruh bagi anak saat belajar adalah bukan dari ucapan yang didengar, melainkan dari perilaku yang dilihat.

Psikolog terkenal Albert Bandura, pencetus Social Learning Theory, menjelaskan bahwa manusia belajar melalui proses modeling —meniru sosok yang dianggap penting. Anak meniru orangtuanya. Murid meniru gurunya. Warga meniru pemimpinnya. Generasi muda meniru figur public di zamannya. Karenanya, pendidikan karakter Panca Waluya tidak akan pernah tumbuh jika:

•Pejabat ceramah tentang integritas, tetapi praktiknya koruptif

•Orang tua meminta anak disiplin, sementara mereka sendiri bermalas-malasan

•Guru mengajarkan kejujuran, tetapi sering terlambat atau mengeluh di depan siswa

•Tokoh masyarakat bicara moral, tetapi tingkah laku jauh dari nilai yang dikhotbahkan

•Pada akhirnya, semua teori tinggal teori. Semua program tinggal program. Semua evaluasi tinggal evaluasi. Tanpa keteladanan, semua akan sia-sia.

Keteladanan punya efek psikologis yang luar biasa. Ia menular, menyebar, menggerakkan.Pemimpin pendidikan dunia John C. Maxwell mengatakan, “A leader knows the way, goes the way, and shows the way.” Pemimpin sejati bukan hanya pintar berbicara atau memberi perintah. Ia tahu apa yang harus dilakukan (knows the way), ia melakukannya sendiri terlebih dahulu (goes the way), dan ia memberi teladan sehingga orang lain bisa mengikuti jejaknya (shows the way).

Sementara tokoh moralitas besar Mahatma Gandhi pernah mengingatkan,“Be the change you wish to see in the world.” Jika menginginkan dunia yang lebih baik—lebih jujur, lebih damai, lebih disiplin, lebih adil— maka kita harus memulai perubahan itu dari diri sendiri dahulu, bukan sekadar menuntut orang lain untuk berubah.

Ketika seorang pemimpin jujur, masyarakat ikut jujur.Ketika seorang guru disiplin, siswa ikut disiplin. Ketika orang tua memperlihatkan kesabaran, anak mengembangkan empati.
Inilah yang disebut vibrasi keteladanan —energi kuat yang memengaruhi dan membentuk karakter sosial secara perlahan namun pasti. Komunitas manapun yang dipimpin oleh teladan yang baik, akan tumbuh menjadi komunitas yang kuat, beretika, dan bermartabat.

Tanpa keteladanan, agenda pendidikan karakter gapura pancawaluya akan gagal. Karena karakter tidak dibentuk oleh kata-kata. Karakter dibentuk oleh: Contoh. Pembiasaan. Lingkungan yang konsisten. Dan sistem yang mendukung. Maka, Panca Waluya tidak cukup hanya dipresentasikan dengan bahasa akademik. Tidak cukup hanya dibuatkan modul atau IHT dan seminar. Tidak cukup hanya dikampanyekan melalui spanduk-spanduk.

Panca Waluya akan hidup jika orang dewasa menjadi teladannya —di rumah, di sekolah, di kantor pemerintahan, di jalanan, di pasar, di media sosial. Sehebat apa pun kemampuan seseorang mengoreksi dan mengevaluasi kesalahan pihak lain, sehebat apa pun ia berpidato, jika nol keteladanan, maka nol pula hasilnya. Bahkan bisa berdampak buruk: anak atau warga justru tumbuh menjadi generasi sinis yang hilang rasa percaya. Hipokrit.

Kolaborasi, sistem, dan keteladanan. Tentu, keteladanan bukan satu-satunya unsur. Ia harus berjalan bersama:

-Kolaborasi seluruh pihak

-Penataan sistem yang mendukung perilaku baik
Reward dan punishment yang adil

-Budaya sekolah dan budaya keluarga yang konsisten

Namun, keteladanan tetap menjadi fondasi. Ia adalah “nyawa” dari seluruh bangunan Pendidikan Karakter Panca Waluya. Pendidikan karakter tidak bisa direkayasa dari podium, papan tulis, atau surat keputusan. Pendidikan karakter tumbuh dari apa yang diperbuat, bukan dari apa yang diucapkan dan diretorikakan.

Tulisan ini ingin menegaskan: Kurikulum bisa diperbaiki. Sistem bisa diperkuat. Program bisa diluncurkan. Namun tanpa keteladanan, semua akan sia-sia.

Jika pemerintah memberi teladan, rakyat akan mengikuti.Jika guru memberi teladan, murid akan meniru.Jika orang tua memberi teladan, anak akan meneladani.

Dan barulah Panca Waluya benar-benar hidup —bukan sebagai program pemerintah, tetapi sebagai budaya masyarakat Jawa Barat yang beradab dan bermartabat. (Dyt/MT)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *