BAHAYA KESERAKAHAN, Refleksi Diri di Momentum Peringatan Maulid Nabi

Berita46 Dilihat

Oleh: Muslih Taman, Humas SMAN I Rumpin, Pemerhati Sosial Keagamaan

DetikSR.id Bogor | Keserakahan bagai lautan nafsu tak bertepi. Di sebuah sudut hati manusia, ada ruang yang tak pernah bisa penuh diisi —ia bernama keserakahan. Seperti api membara yang tak pernah cukup melalap mangsa. Serakah terus membakar akal, memadamkan cahaya syukur, dan menggiring jiwa ke jurang gelap yang tak berujung. Tragis dan nista.

Dalam ajaran Islam, sifat serakah —tama‘— bukan hanya penyakit hati, tetapi juga penghalang utama menuju ketenangan batin dan ketentraman jiwa. Rasulullah ﷺ bersabda, “Tidaklah kekayaan itu dengan banyaknya harta benda, tetapi kekayaan yang sejati adalah kaya hati.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Serakah membuat manusia lupa pada hakikat hidup. Ia melihat dunia seperti mangsa yang harus direbut, bukan titipan yang harus dijaga. Ketika tangan terus meraih, hati pun kehilangan arah. Padahal, dunia hanyalah persinggahan, bukan tujuan. Al-Qur’an pun memperingatkan dengan tegas, “Dan kalian mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan.” (QS. Al-Fajr: 20)

Orang-orang bijak berkata, “Serakah itu seperti minum air laut; makin diminum, makin membuat rasa haus.” Ia menumbuhkan kerakusan, mematikan empati, dan menutup mata dari keindahan memberi. Ibnu Qayyim berkata, “Serakah adalah pangkal dari semua kehinaan. Ia membuat orang rela mencuri, berdusta, berkhianat, bahkan membunuh.”

Lihatlah keindahan mereka yang menghindarkan diri dari serakah dalam hidupnya —hatinya lapang, wajahnya damai, dan jiwanya ringan melangkah. Ia tahu, bahwa apa yang ada di sisi-Nya lebih baik dari apa yang ada di tangannya. Ia percaya bahwa rezeki tak akan tertukar, dan keberkahan jauh lebih berharga daripada jumlah yang berlimpah.

Karena itu, wahai jiwa yang mencari ketenangan —jangan biarkan dunia mencuri akhiratmu. Belajarlah merasa cukup. Karena kaya bukanlah soal memiliki segalanya, tetapi mampu bersyukur atas apa yang ada.
Serakah hanya akan menambah berat di dada, sementara qana’ah (rasa cukup) adalah kunci bahagia yang sesungguhnya.
Dari keserakahan, lahirlah ketimpangan.

Dari keserakahan, lahirlah ketimpangan. Dari keserakahan, tumbuhlah jurang ketidakadilan. Di satu sisi, orang kaya berfoya-foya. Di sisi lain, rakyat jelata mengais makanan sisa. Kekayaan yang seharusnya bisa dinikmati bersama, justru dikuasai segelintir orang yang tak tahu malu, menggelar pesta pora dari uang rakyat yang sulit mencari lapangan kerja. Inilah awal dari kemarahan. Penyulut petaka.

Baru-baru ini, kita menyaksikan demonstrasi besar-besaran yang berujung pada kerusuhan dan penjarahan rumah-rumah pejabat yang hidupnya bergelimang kemewahan. Apakah kita menyetujui kekerasan dan penjarahan? Tentu tidak. Tetapi peristiwa ini harus menjadi cermin dan peringatan bagi semua. Ketika suara rakyat diabaikan, penderitaan mereka ditertawakan, dan keadilan hanya dinikmati oleh segelintir orang —maka amarah bisa menjelma bara api.

Para pemimpin yang bijak akan membaca kejadian ini sebagai pelajaran. Bahwa tidak bisa ada kedamaian yang kesenjangannya terus dibiarkan melebar. Rakyat tidak butuh pemimpin yang gagah perkasa, tetapi pemimpin yang peduli dan bijaksana. Para wakil rakyat seharusnya bekerja untuk rakyat, bukan memperkaya diri dengan menginjak-injak kepala rakyat. Riuh membuat peraturan, namun ujung-ujungnya untuk melindungi dan menyejahterakan diri sendiri.

Mari kita renungkan bersama. Keserakahan bukan hanya merusak pribadi, tetapi juga merusak tatanan sosial dan merobek rasa keadilan anak ibu pertiwi. Jika kita ingin bangsa ini kuat dan bersatu, maka keadilan harus ditegakkan, kesejahteraan harus diratakan, dan kezhaliman harus dilenyapkan.

Lebih baik terlambat daripada tidak. Para pemimpin harus segera berhenti memamerkan kemewahan dan berpesta di atas penderitaan rakyat, menggunakan uang rakyat. Sudah saatnya semua elemen bangsa membangun rasa cinta dan kepedulian, empati dan kasih sayang. Agar kita bisa berjalan bersama, bukan saling menjatuhkan. Karena keserakahan akan selalu berujung pada kehancuran —bukan hanya bagi pelakunya, tetapi juga bagi bangsa secara keseluruhan.(*/red/Day/MT)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *