Jaringan WPS Indonesia Desak Penangguhan Penahanan Perempuan Pasca Demo

Berita33 Dilihat

DetikSR.id Jakarta–Jaringan Women, Peace and Security (WPS) Indonesia yang beranggotakan 82 organisasi perempuan dari Aceh hingga Papua menyampaikan keprihatinan atas penangkapan tiga perempuan pasca aksi demonstrasi 25 Agustus–11 September 2025. Dalam pernyataan pers Minggu (21/9), jaringan ini menegaskan dukungan terhadap sikap Komnas Perempuan yang menilai tindakan aparat telah mencederai hak konstitusional warga untuk menyampaikan pendapat secara damai sebagaimana dijamin UUD 1945.

Presidium Jaringan WPS Indonesia, Ruby Kholifah, mengatakan bahwa tiga perempuan berinisial L, F, dan G ditangkap secara non-prosedural serta dipaksa menandatangani surat pengakuan tersangka. Ia menegaskan, praktik tersebut melanggar mandat undang-undang, termasuk Perma No. 3/2017 tentang perempuan berhadapan dengan hukum yang menjamin hak atas pendampingan, keamanan pribadi, privasi, serta pemulihan psikologis.

“Penangkapan non-prosedural terhadap perempuan pembela HAM adalah ancaman serius bagi demokrasi di Indonesia,” ujar Ruby. Ia menambahkan, pola represi kini tidak hanya terjadi di lapangan, tetapi juga di ruang digital melalui serangan berbasis gender, penyebaran hoaks, doxing, hingga penggunaan pasal karet dalam UU ITE.

Jaringan WPS mendesak Kapolri segera mengabulkan usulan penangguhan penahanan terhadap ketiga perempuan tersebut dan meminta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak memastikan adanya perlindungan hukum serta layanan pemulihan psikososial bagi korban dan keluarganya.

Mereka juga meminta Komnas Perempuan melanjutkan pemantauan pelanggaran HAM sekaligus melakukan advokasi kebijakan yang melindungi ruang demokrasi. Selain itu, Kementerian Informasi dan Digital diminta meninjau ulang UU ITE agar tidak lagi menjadi alat kriminalisasi warga, sekaligus menjamin kebebasan berekspresi di ruang digital.

Menurut Ruby Kholifah, penangguhan penahanan tidak menghalangi proses hukum, melainkan memastikan keadilan ditegakkan secara adil dan proporsional. Indonesia, sebagai negara yang telah meratifikasi Konvensi CEDAW melalui UU No. 7/1984, dinilai memiliki kewajiban melindungi perempuan dari perlakuan diskriminatif.

Karena itu, ia menyerukan agar negara segera menghentikan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan warga sipil serta menunjukkan komitmen nyata terhadap demokrasi, keadilan gender, dan perlindungan hak asasi manusia. (Ervinna)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *