Putusan MK Momentum Menata Ulang Pengawasan Sistem Merit ASN

Berita46 Dilihat

DetikSR.id Jakarta Jumat.5/12/2025 – Mantan Direktur Kebijakan Bakamla dan mantan Asisten Komisioner KASN, IGN Agung Yuliarta Endrawan, SH, MH, CCFA, menilai Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 121/PUU-XXII/2024 sebagai titik balik penting dalam membangun kembali sistem pengawasan merit Aparatur Sipil Negara (ASN).

“Putusan tersebut bukan sekadar koreksi norma, tetapi mandat konstitusional yang harus dijadikan landasan untuk memperkuat manajemen ASN secara menyeluruh,” ujar Agung, dalam keterangannya kepada awak media, di Jakarta Jumat ( 5/12/2025).

Agung menjelaskan bahwa Putusan MK yang dibacakan Ketua MK Suhartoyo pada 16 Oktober 2025 menegaskan Pasal 26 ayat (2) huruf d UU 20/2023 tentang ASN bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai bahwa pengawasan sistem merit wajib dilakukan oleh lembaga independen.
Menurutnya, Mahkamah secara jelas menghendaki hadirnya mekanisme check and balances dari lembaga eksternal yang benar-benar independen agar potensi penyimpangan kewenangan dalam manajemen ASN dapat dicegah.

“Tenggang waktu paling lama dua tahun yang diberikan MK ,merupakan perintah konstitusional yang seyogyanya diterjemahkan pemerintah dalam bentuk kebijakan kelembagaan yang lebih kuat,” imbuhnya.
Lanjut Agung, dari sudut pandang hukum administrasi, penguatan pengawas merit sejalan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik sebagaimana tercantum dalam Pasal 5 jo. Pasal 10 UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Asas legalitas, perlindungan HAM, tidak menyalahgunakan wewenang, tidak ada konflik kepentingan, keterbukaan, dan kepastian Hukum merupakan prinsip fundamental yang hanya dapat ditegakkan apabila terdapat lembaga independen yang memastikan proses manajemen ASN berlangsung objektif.

“Dalam konteks pembangunan nasional, keberadaan lembaga demikian menjadi syarat mutlak bagi terwujudnya Indonesia Emas 2045, di mana profesionalisme birokrasi dan integritas aparatur merupakan fondasi negara maju,” jelasnya.

Agung menilai kelemahan Komisi ASN sebelumnya bukan terletak pada namanya, tetapi pada desain kelembagaan yang belum memberikan kemandirian penuh. Ia menyebut sejumlah hambatan seperti anggaran yang berada di bawah kementerian lain, tidak adanya Sekretaris Jenderal, ketidakjelasan jenjang karir Asisten, keterbatasan akses data kepegawaian dan manajemen talenta, serta ketidakmampuan menindak ketidakhadiran pihak yang dipanggil.

“Selain itu, minimnya daya paksa rekomendasi dan lemahnya perlindungan institusional bagi ASN menyebabkan pengawasan merit tidak berjalan optimal. Situasi ini menjadi semakin kompleks ketika praktik politik mulai mempengaruhi birokrasi, termasuk potensi jual beli jabatan, mobilisasi tim sukses, tekanan kekuasaan dalam mutasi dan promosi, hingga pengondisian proyek melalui aparatur Negara,” ungkap Agung.
Lanjut Agung, menegaskan bahwa pengalaman negara lain dapat menjadi rujukan. Ia menyebut Inggris, Thailand, Filipina, dan Amerika Serikat yang memiliki lembaga seperti Civil Service Commission dan Merit Systems Protection Board. Menurutnya, efektivitas lembaga pengawas merit tidak ditentukan nama, tetapi struktur, kedudukan, dan kewenangannya. Karena itu, Indonesia dapat mempertahankan nama Komisi ASN atau memilih nomenklatur lain,

“Sepanjang lembaga tersebut diperkuat secara kelembagaan dan anggotanya ditetapkan sebagai Pejabat Negara dengan kedudukan setingkat menteri. Status ini diperlukan agar lembaga benar-benar independen dan tidak dapat diintervensi oleh kepentingan politik,” tegasnya.

Ia pun, menyebut fungsi lembaga independen diarahkan untuk menjaga profesionalisme ASN, melindungi netralitas aparatur, mencegah konflik kepentingan, serta memutus mata rantai kolusi dan nepotisme. Lembaga tersebut juga harus memberikan perlindungan terhadap ASN dari tekanan politik maupun upaya-upaya yang berpotensi merusak integritas karier ASN.

“Lembaga ini harus menjadi benteng moral sekaligus administratif bagi ASN agar mereka dapat bekerja objektif, adaptif, dan berintegritas,” ungkapnya.

Terkait tugas, Agung menjelaskan bahwa lembaga pengawas merit idealnya diberikan kewenangan penuh dalam mengawasi keseluruhan siklus manajemen ASN. Ini mencakup pengawasan rekrutmen berbasis kompetensi, penempatan jabatan yang objektif, penegakan kode etik, mediasi dan penyelesaian sengketa ASN yang berdampak hukum langsung, serta pengawasan penerapan nilai dasar ASN.

“Untuk menjalankan tugas tersebut, lembaga harus memiliki hak akses penuh terhadap data perekrutan, data manajemen talenta, rekam jejak jabatan, rekam jejak integritas, serta catatan perilaku ASN, jelasnya.
Ia juga menekankan pentingnya kewenangan substantif. Lembaga independen, harus mampu memberikan rekomendasi atau keputusan yang mengikat dan wajib ditindaklanjuti, menentukan keabsahan proses seleksi dan pengangkatan jabatan, serta menetapkan sanksi administratif bagi pejabat atau ASN yang tidak mematuhi ketentuan, lembaga harus dapat meminta dokumen, memanggil pihak terkait dengan daya paksa, dan meminta dukungan APIP, atasan instansi, kementerian pembina, atau aparat keamanan agar proses penyelesaian masalah berjalan efektif.

“Pentingnya kewenangan lembaga dalam mengatur penunjukkan provider seleksi jabatan, yang selama ini ditentukan Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK). Seharusnya, lembaga independen perlu memiliki otoritas untuk menetapkan dan menunjuk lembaga asesor kompetensi serta menunjuk Panitia Seleksi (Pansel) yang kapabel dan independent, termasuk hasil assessment, rekam jejak, dan data talenta wajib diverifikasi oleh lembaga independen sebelum mengusulkan tiga kandidat terbaik kepada Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK),” urainya.
Ia menambahkan bahwa dalam kondisi tertentu lembaga dapat diskresi menggunakan data assessment atau rekam jejak terdahulu jika valid, dengan atau tanpa pertimbangan legislatif atau masyarakat, sehingga seleksi ulang tidak selalu diperlukan.
Terkait pembiayaan, Agung menjelaskan bahwa pelaksanaan pengadaan teknis dapat dilakukan lembaga independen dengan anggaran yang bersumber dari kementerian/lembaga, sesuai mekanisme APBN.

“Anggaran khusus untuk fungsi pengawasan, monitoring, penilaian, tindakan korektif, serta digitalisasi layanan konsultasi, pengaduan, pelaporan netralitas ASN, dan permohonan seleksi jabatan harus disiapkan secara memadai agar independensi operasional terjamin,” tambahnya.

Dalam penjelasannya, Agung menegaskan bahwa desain lembaga pengawas merit yang kuat dan independen sepenuhnya sejalan dengan Asta Cita Presiden Prabowo dan Wakil Presiden Gibran. Ia menyoroti Asta Cita Ke-4 tentang penguatan pembangunan SDM, serta Asta Cita Ke-7 mengenai reformasi politik, hukum, dan birokrasi serta penguatan “pencegahan” korupsi, sebagai pijakan strategis bagi pembentukan lembaga pengawas merit yang efektif.
“Birokrasi profesional dan sistem merit yang objektif adalah prasyarat utama untuk mencapai SDM unggul dan mencegah korupsi dari hulunya,”katanya.

Agung mengingatkan bahwa Putusan MK 121/PUU-XXII/2024 harus dimaknai sebagai momentum bersejarah untuk membangun lembaga pengawas merit yang benar-benar independen, kuat secara struktural, memiliki kewenangan memadai, serta dipercaya Publik.

“Jika momentum ini dimanfaatkan dengan tepat, Indonesia dapat membangun birokrasi modern yang berkelas dunia dan menjadi pilar penting menuju Indonesia Emas 2045,”pungkasnya. ( Tim / Red )

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *